Tahun 2000, Bang Anwar, seorang pengusaha ikan dan anggota komunitas Sibolga Channel Misteri (SCM), punya tetangga sekaligus rekan bisnis bernama Roji, seorang nelayan rajin yang hidup sederhana bersama istrinya, Bu Lisa. Suatu hari, seperti biasa, Roji meminjam modal untuk membeli umpan sebelum berangkat melaut. “Doakan, Bang, semoga rezeki besar kali ini,” katanya sebelum berangkat.
Namun empat hari kemudian, kapalnya sudah kembali ke pangkalan jauh lebih cepat dari biasanya. Dari kejauhan, Bang Anwar melihat kapal itu datang dengan panik. Di atasnya, para anak buah kapal menandu seseorang yang kejang-kejang dan berteriak histeris.
“Saya lihat, ternyata Roji. Badannya menggigil, matanya merah, mulutnya bicara tak jelas. Katanya dia mengamuk di laut dan hampir melompat ke air,” ujar Bang Anwar.
Roji langsung dibawa ke puskesmas, tapi dokter tak menemukan penyakit apa pun. Sejak hari itu, kehidupannya berubah jadi neraka.
Menurut istrinya, Roji sering mengamuk setiap waktu magrib dan menjelang subuh. Kadang ia berlari ke dapur, bersembunyi di bawah tempat tidur, atau menjerit memanggil nama-nama tak dikenal. “Anak-anak sampai saya ungsikan ke rumah orang tua,” kata Bu Lisa.
Warga mengira Roji terkena penyakit malaria laut, penyakit biasa di kalangan nelayan. Tapi Bang Anwar tahu, ini bukan sakit biasa. Ia kemudian meminta bantuan seorang spiritualis tua bernama Pak Datuk, yang dikenal bisa mengobati penyakit “pijak laut.”
Pak Datuk datang, melihat keadaan Roji, namun tak berkata sepatah pun. Setelah lama menatap dari kepala sampai kaki, ia hanya berpesan:
“Dua hari lagi datang lagi ke rumah saya. Akan saya beri tahu apa yang harus dilakukan.”
Dua hari kemudian, Pak Datuk memanggil Bang Anwar dan memberi instruksi aneh:
“Kau harus cari air wudu dari tujuh masjid yang airnya langsung dari gunung, bukan dari pipa PAM. Bawa masing-masing satu jeriken kecil.”
Perintah itu terdengar mustahil. Di Sibolga, hampir semua masjid sudah memakai air pipa. Namun demi menyelamatkan Roji, Bang Anwar tetap berangkat. Ia berkeliling desa-desa, naik motor, menembus jalan berlumpur. Ban bocor, hujan mengguyur, bahkan sempat jatuh di jalan tapi akhirnya berhasil mengumpulkan air dari tujuh masjid pegunungan.
“Setiap kali saya hampir jatuh, rasanya seperti ada yang menghalangi. Mungkin jin lautnya tahu saya mau bantu Roji,” ujarnya.
Selain air tujuh masjid, Datuk juga meminta batang pisang setinggi pinggang orang dewasa dan baju yang dipakai Roji saat pulang dari laut. Semua syarat itu dikumpulkan dengan susah payah.
Hari yang ditentukan tiba. Setelah salat zuhur, mereka membawa Roji naik kapal ke tengah laut ke lokasi tempat ia pertama kali sakit. “Kata Pak Datuk, hanya di laut tempat jin itu muncul, penyakitnya bisa dilepas,” kata Bang Anwar.
Dalam perjalanan dua jam itu, Roji diam tanpa bicara. Namun ketika kapal berhenti, tubuhnya langsung memberontak. “Dia menendang papan kapal, menolak dimandikan,” kenang Bang Anwar.
Pak Datuk menimba air laut, mencampurnya dengan air tujuh masjid dan bunga tujuh rupa. Dengan daun yang sudah dirapal doa, ia menyiram Roji dari kepala hingga kaki.
“Begitu air pertama menyentuh tubuhnya, Roji berteriak keras. Tapi setelah siraman ketiga, dia tiba-tiba diam. Badannya lemas, matanya terpejam.”
Setelah itu, mereka semua menangis haru. Roji tak lagi melawan, tapi juga tak berkata apa-apa. Saat kapal kembali ke pelabuhan, ia hanya menunduk dan meneteskan air mata.
Keesokan harinya, Roji mulai sadar dan berbicara pelan. Ia bilang semalaman bermimpi melihat perempuan berambut panjang dan kuku runcing di haluan kapal, wajahnya hitam legam. “Dia bilang dingin sekali, sampai tulangnya seperti ditusuk-tusuk,” kata Bang Anwar.
Sosok itulah Sarayan Lawik, makhluk laut yang dipercaya menjaga perairan Sibolga. Konon, ia muncul untuk menegur nelayan yang tak sopan bicara atau sombong saat melaut.
Roji mengaku, sebelum kerasukan, ia sempat menunjuk sesuatu di laut dan berkata pada kawannya,
“Eh, itu apa? Masjid ya? Gedung?”
Padahal, menurut kawannya, di sana tidak ada apa-apa. Sejak saat itu tubuhnya membeku dan pikirannya hilang.
Pak Datuk menjelaskan, apa yang dilihat Roji adalah istana jin laut. “Kalau kau menyebut atau menunjuknya, itu berarti kau sudah menantang penghuni laut,” katanya.
Dari pengalaman itu, nelayan Sibolga semakin memegang teguh pantangan di laut yaitu jangan berkata kasar, jangan menunjuk ke permukaan laut kalau melihat sesuatu aneh, jangan menyombongkan hasil tangkapan,jJika tersesat atau merasa diawasi, diam dan berzikir dalam hati.
Mereka juga masih menjaga tradisi “Mangure Lawi” semacam pesta laut tahunan untuk menghormati makhluk penjaga laut. Seekor kerbau disembelih, kepalanya dilarung ke tengah laut, sementara dagingnya dibagi ke anak yatim dan warga miskin. “Bukan menyembah laut,” jelas Bang Anwar, “tapi sebagai bentuk sedekah agar laut tetap bersahabat.”
Bagi warga pesisir Sibolga, Sarayan Lawik bukan sekadar legenda, tapi simbol dari kekuatan alam yang harus dihormati. “Dia lahir dari luka laut dari ombak yang diabaikan, dari keserakahan manusia,” kata Bang Anwar.
Makhluk itu bisa menampakkan diri sebagai perempuan berambut panjang, arus dingin mendadak, atau “tali arus” yang membentang seperti buih di permukaan laut. Para nelayan percaya, jika arus itu muncul, hasil tangkapan akan melimpah. Tapi jika disertai hawa dingin menusuk, itu pertanda jin laut sedang marah.
Kini Roji sudah sembuh dan kembali melaut, tapi setiap kali menebar jaring, ia tak pernah lupa berdoa. “Saya tak akan pernah lagi bicara sompral di laut,” katanya.
Sementara Bang Bang Anwar masih sering menemani para nelayan yang kerasukan atau sakit akibat “angin laut.” Dalam setiap ceramahnya di komunitas Sibolga Channel Misteri, ia selalu mengingatkan:
“Laut itu bukan hanya air dan ikan. Di dalamnya ada makhluk Allah yang lebih dulu tinggal di sana. Kalau kita sopan, mereka tak ganggu. Tapi kalau sombong, bisa habis satu kapal.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.