Pada tahun 2000, seorang sopir travel bernama Kasmad memutuskan sesuatu yang akan mengubah jalan hidupnya selamanya. Kasmad ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa, tapi bukan sekadar lewat kampanye atau jalur politik biasa. Kasmad memilih jalan pintas yaitu jalan gelap yang melibatkan ritual-ritual supranatural dan campur tangan dunia tak kasat mata. Semua bermula dari rasa nekat dan berakhir dengan kehancuran.
Kasmad pertama kali menyatakan niatnya kepada bosnya, seorang pengusaha kecil di desanya. Padahal, dari awal ayahnya yang seorang paranormal sudah keras memperingatkan, “Kamu nggak punya bagian buat jadi pemimpin.” Tapi dasar manusia, kalau nafsu sudah menutup mata, akal sehat pun disimpan di saku celana. Dengan modal seadanya dan pinjaman dari sana-sini, Kasmad dan bosnya berangkat ke Kalipucang, Ciamis, untuk mencari bantuan juru kunci. Sepanjang perjalanan, tanda-tanda aneh mulai bermunculan. Mobil mereka pecah ban tiga kali, walaupun bannya masih bagus. Angin bertiup kencang, jalanan terasa asing. Seolah-olah, ada yang ingin menghalangi perjalanan mereka. Tapi, mereka tetap memaksa.
Tujuan mereka adalah Gua Sigitsela, sebuah gua tua di wilayah Nusakambangan yang terkenal sebagai tempat persinggahan makhluk-makhluk gaib. Di sana, mereka bertemu dengan Abah Juru Kunci, sosok sepuh yang paham jalur-jalur tersembunyi di alam tak kasat mata. Syarat agar Kasmad bisa menang pemilihan? Kasmad harus menjalani ritual semalam suntuk di dalam gua tanpa penerangan kecuali lilin kecil dan tanpa teman kecuali zikir yang berulang-ulang.
Malam itu, Kasmad dan seorang temannya masuk ke dalam gua. Begitu lilin dinyalakan, hawa aneh langsung menyelimuti tempat itu. Tidak butuh waktu lama sampai suara-suara mulai terdengar dari gonggongan anjing, suara perempuan cekikikan, desir langkah entah dari mana. Dan ketika mereka menatap sesaji, sebuah sosok raksasa hitam dengan mata merah menyala perlahan muncul dari dalam kegelapan, hanya diam, memperhatikan. Waktu terasa beku. Tiga jam di dalam gua terasa seperti tiga tahun. Ketakutan, peluh dingin, dan rasa ingin lari bercampur jadi satu. Tapi, ritual tetap harus diteruskan.
Pagi harinya, Kasmad diuji. Kasmad harus memeluk tiang batu besar di tengah gua. Kalau jari-jarinya bisa bertemu di belakang tiang, itu tandanya ada harapan menang. Tapi sekeras apapun ia berusaha, jari-jarinya tidak pernah bersentuhan. Bahkan ketika harus melewati celah batu kecil di dinding gua, tubuhnya malah macet, terjebak di dalam batu sampai harus didorong keluar dengan tenaga dan doa. Semua tanda itu sudah jelas bahwa kasmad tidak ditakdirkan untuk jadi kepala desa. Tapi Kasmad menolak menyerah.
Dengan suara hampir menangis, Kasmad meminta jalan alternatif kepada Abah Juru Kunci. Maka ditawarkanlah jalur kiri yaitu ritual tambahan dengan resiko yang jauh lebih besar. Syaratnya adalah membuat sesaji baru di rumahnya sendiri, menggelapkan kamar, dan menaruh dua apel jin. Kalau satu apel hilang saat ritual, itu artinya ia akan menang. Tapi kalau ritual itu berhasil, Kasmad wajib kembali ke juru kunci untuk membayar harga ritual. Kalau tidak, konsekuensinya akan dibayar lebih mahal di masa depan.
Malam sebelum pencoblosan, ritual dijalankan. Hujan deras mengguyur tanpa henti meskipun musim kemarau. Petir menyambar seperti menghantam atap rumah. Listrik padam. Suasana mencekam. Di dalam kamar sesaji, suara aneh bergema, suara benturan keras di tembok, suara bisikan, dan suara langkah yang tidak terlihat. Pagi harinya, saat azan subuh berkumandang, mereka membuka kamar dan menemukan satu apel jin sudah hilang. Bahwa pertanda itu nyata.
Di hari pemilihan, Kasmad menang telak. Kasmad telah menjadi kepala desa. Semua orang terkejut. Tapi kemenangan itu hanya bertahan sebentar. Memasuki tahun kedua, Kasmad terjerumus ke dalam skandal asusila dengan istri seorang TKI. Warga mengamuk, rumahnya dilempari batu, namanya tercoreng, Kasmad dipaksa turun dari jabatan dan akhirnya melarikan diri ke Bekasi. Hidupnya berakhir di gang sempit, jualan bubur seadanya untuk bertahan hidup. Saat ditanya, apakah ia pernah kembali ke juru kunci untuk membayar utangnya? Jawabannya hanya satu: “Enggak.”
Yang lebih ironis, teman yang dulu menemani ritual di gua, yang tak pernah ngotot, yang pasrah dengan nasib, malah akhirnya benar-benar jadi kepala desa. Tanpa ritual. Tanpa apel jin. Tanpa membuka pintu dunia lain.
Karena kadang, yang maksa membuka pintu gaib, malah dihancurkan pintu itu sendiri.
Akankah Kasmad bisa memperbaiki hidupnya? Ataukah jalan gelap yang dulu Kasmad pilih akan terus menghantui hingga akhir hayatnya?
Simak kisah-kisah nyata lainnya, hanya di Malam Mencekam.