Malam itu di Cirebon, angin hanya berbisik pelan. Rumah Teh Desi gelap karena listrik padam. Lilin yang dinyalakan baru saja berkobar… dan tepat di depan nyala itu, muncul wajah raksasa berbulu hitam, bertaring panjang, mata merah tanpa kelopak. Nafasnya anyir, panas, nyaris menyentuh kulit wajah.
Itulah awal dari serangkaian kejadian tak masuk akal yang ia alami setelah kematian ayahnya. Mulai dari kuntilanak berdarah di belakang rumah teman, pocong yang mengaku tidak diterima bumi, hingga makhluk raksasa mirip genderuwo yang ternyata… merindukan lantunan Al-Qur’an dari almarhum ayahnya.
Pada tanggal 29 Mei 2016 Ayah Teh Desi, lelaki bijak yang dekat dengannya, wafat mendadak karena serangan jantung saat mengemudi. Meski mobil sempat terserempet, beliau memilih menepi untuk menyelamatkan penumpang lain bahkan di detik-detik terakhir hidupnya.
Hari-hari pertama, Teh Desi mencoba tegar di depan keluarga. Tidak ada firasat sebelum wafat, meski ia dikenal memiliki sixth sense. Anehnya, justru setelah ayahnya meninggal kemampuan itu terbuka lebar.
Pada malam hari ke-3, setelah menidurkan anaknya sambil berzikir, ia terlelap. Dentuman tiga kali terdengar di telinganya: dem… dem… dem….
Ketika membuka pintu kamar, ia melihat ayahnya duduk bersila di ruang tamu, mengenakan koko hitam bersulam emas, peci hitam, sarung hitam. Di sekelilingnya duduk para saudara lelaki yang masih hidup.
Teh Desi berlari, sujud di pangkuan ayahnya sambil menangis, memohon maaf. Wajah ayahnya datar, dingin, namun tangan beliau mengusap rambutnya. Air mata jatuh dari mata sang ayah air mata yang jarang ia lihat semasa hidup.
Dentuman itu kembali terdengar, dan tiba-tiba sosok sang ayah menghilang. Teh Desi terbangun… masih dalam posisi sujud di kasur.
Hari ke-7 Mimpi serupa terulang. Kali ini pelukan ayahnya lebih lama, dan Teh Desi mendengar isak tangis lelaki di telinganya. Saat terbangun, posisinya persis seperti dalam mimpi.
Hari ke-10 dalam mimpi, ia diajak ayahnya ke pasar. Aneh, meski ia masuk ke lorong-lorong belanja, ayahnya selalu tampak di dekatnya—seolah mengikuti dari berbagai arah. Saat terbangun, ia duduk di tepi kasur dalam posisi seperti dibonceng motor… dan di tangannya tergenggam kantong kresek kosong serta kunci motor almarhum yang sebelumnya tersimpan jauh di dapur.
Hari ke-30 Malam itu, ia tidur dengan mukena setelah salat Isya. Dentuman kembali terdengar, lalu suara ayahnya:
“Des… kalau kamu ingin mencari di mana Tuhanmu berada, dan di mana orang yang paling kamu cintai… dia ada di hatimu yang paling dalam. Bicara di situ, maka kamu akan menemukannya.”
Pesan itu menancap dalam, Tuhan dan orang tercinta ada di ruang terdalam hati. Ketika rindu, sampaikan di sana bukan dengan air mata, tapi dengan doa.
Hari ke-40 dentuman kali ini lebih keras, membuat telinganya nyeri. Ayahnya muncul di samping kasur, mengenakan jubah putih, ditemani seorang lelaki asing yang juga berjubah putih. Saat ia mencoba mencium tangan, sang ayah berbalik dan berjalan menuju pintu.
Teh Desi mengejar hingga keluar rumah, menembus keramaian yang tiba-tiba sunyi. Mereka masuk ke lorong gelap menuju sebuah pintu bercahaya berbentuk huruf U. Pintu yang pernah ia lihat saat mati suri.
Ketika ia mencoba masuk, pintu itu memantulkannya kembali. Dari balik pintu transparan itu, ia melihat ayahnya melangkah masuk bersama pendampingnya tanpa menoleh lagi.
Teh Desi menangis, mengingat pesan hari ke-30: “Temukan aku di hatimu.” Dengan ikhlas, ia berdoa:
“Ya Allah, tempatkan ayahku di tempat terindah-Mu.”
Dentuman terdengar sekali lagi. Ia terbangun di kasur, bersimpuh… sambil memegang kunci rumah.
Bagi Teh Desi, semua kejadian itu adalah tanda bahwa doa adalah satu-satunya jembatan antara dunia dan alam setelah kematian. Ayahnya telah berpamitan, dan ia pun belajar untuk merelakan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.