Mas Teguh adalah seorang pengusaha proyek besar yang pernah mengelola kontrak miliaran rupiah. Awal tahun 2017, kariernya berada di puncak. Ia memiliki rumah mewah, mobil pribadi, dan hubungan bisnis yang luas. Namun, di akhir tahun itu, bisnisnya mengalami keruntuhan. Proyek-proyek terhenti, arus kas macet, dan hutang mulai menumpuk.
Tahun 2018, ia memutuskan pindah ke Brebes mengikuti ajakan seorang teman bernama Agus. Bersama Agus, usahanya kembali berjalan lancar. Mas Teguh mampu membeli rumah dan mobil dari hasil kerja sama tersebut. Namun, kehidupan pribadi mulai terganggu akibat pergaulan yang salah.
Keterlibatannya dalam narkoba membuat Mas Teguh ditangkap polisi pada Oktober 2018. Ia divonis tujuh bulan penjara. Masa tahanan menjadi titik terendah hidupnya. Saat bebas, tidak ada satu pun keluarga yang menjemputnya. Istrinya memilih pergi, sementara keluarganya menjauh. Mas Teguh pun berjalan kaki dari Brebes menuju Purwokerto tanpa tujuan jelas.
Dalam kondisi terpuruk, Mas Teguh berhenti di sebuah pom bensin di Purwokerto. Di tempat itulah ia bertemu Pak Yanto, seorang pria yang kemudian menawarkan jalan keluar yang terdengar aneh sekaligus menggiurkan.
“Kalau mau rezekimu lancar lagi, ikut saya ke Cilacap,” ujar Pak Yanto.
Tawaran itu disertai janji untuk memulihkan kehidupannya. Tanpa berpikir panjang, Mas Teguh setuju. Syarat yang diminta adalah menyediakan sesaji lengkap dan menginap di sebuah gua selama tujuh hari.
Sesampainya di Pantai Sodong, Cilacap, persiapan ritual dilakukan. Sesaji yang disiapkan antara lain bunga tujuh rupa, buah-buahan, rokok, dan kemenyan. Gua tempat ritual memiliki suasana gelap dan lembab, hanya diterangi cahaya obor.
Hari ketiga, Mas Teguh melihat penampakan sosok tinggi besar bertanduk. Makhluk itu hanya berkata singkat, “Terusin, Nak…” tanpa melakukan hal lain.
Malam ketujuh, muncul sosok perempuan cantik bermahkota yang dikenal sebagai “Ibu Ratu”. Sosok itu memerintah Mas Teguh untuk pergi ke Pekalongan.
Di Pekalongan, juru kunci yang ditemui Mas Teguh meminta seekor kambing sebagai sesaji. Pada malam keempat ritual, terdengar suara ledakan keras dari arah sesaji. Saat diperiksa, sesaji berantakan dan dari tengahnya muncul sebuah batu hitam sebesar kepalan tangan, berbentuk seperti boneka dengan taring. Batu itu diminta untuk dibawa pulang.
Tidak lama setelah membawa batu tersebut, Mas Teguh bermimpi bahwa ia harus menyediakan tumbal manusia setiap malam Jumat Kliwon. Dua hari kemudian, seorang teman lamanya datang tiba-tiba, membawa uang tunai Rp10 miliar sebagai modal usaha.
Sejak memegang batu hitam itu, proyek besar berdatangan tanpa ia cari. Ia menangani pembangunan pabrik senilai Rp25 miliar, rumah sakit Rp33 miliar, hingga rumah pejabat senilai Rp2 miliar, semuanya tanpa badan usaha resmi.
Dua tahun menjalani perjanjian gaib tersebut, Mas Teguh pernah lupa memberikan tumbal pada malam Jumat Kliwon. Malam itu, ia diteror oleh sosok raksasa. Keesokan harinya, anak bungsunya yang berusia tiga tahun jatuh sakit misterius. Tubuhnya kurus kering dan perilakunya seperti orang kesurupan.
Seorang kiai yang dimintai bantuan mengatakan,
“Kalau mau anakmu sembuh, buang pegangan itu.”
Atas saran tersebut, Mas Teguh membuang batu hitam ke Pantai Randuanga. Setelah batu dibuang, kondisi anaknya berangsur membaik. Namun, sejak itu, Ibu Ratu mulai datang dalam mimpi, menanyakan alasan batu tersebut dibuang.
Ibu Ratu tidak hanya muncul dalam mimpi. Suatu malam Jumat Kliwon di Pekalongan, Mas Teguh melihat sosok itu secara langsung. Ketakutan, ia berlari meninggalkan lokasi dan menemui kiai untuk memutuskan hubungan dengan dunia mistis. Ia menjalani puasa untuk membersihkan diri.
Di masa itu, Pak Yanto pernah berkata padanya,
“Anakmu empat, kasih satu untuk numpang hidup…”
Ucapan itu semakin meyakinkannya untuk mengakhiri keterlibatannya dalam pesugihan.
Dengan didampingi seorang kiai, Mas Teguh kembali ke gua di Cilacap untuk melakukan ritual penutup. Selama tiga hari ia berdiam di dalam gua, memohon keselamatan keluarga.
Hari ketiga, Ibu Ratu kembali menampakkan diri dan berkata,
“Di sini bukan tempat pesugihan, ini tempat riyadhoh. Yang menyuruhmu ke Pekalongan… bukan dari kami.”
Sosok itu memberi Mas Teguh sebuah payung yang disebut-sebut dapat digunakan untuk menyembuhkan orang sakit. Mas Teguh menolak memakainya dan menitipkan payung tersebut kepada temannya di Solo.
Kini, Mas Teguh menjalani hidup sederhana. Ia memiliki satu rumah, satu mobil, dan mengerjakan proyek-proyek kecil. Meski jauh dari kemewahan masa lalunya, ia merasa hidup lebih tenang.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.