Mas Damar lahir dari keluarga dengan latar belakang campuran. Ibunya berasal dari Cirebon dan berprofesi sebagai guru, sedangkan ayahnya adalah orang Jawa penganut kejawen yang masih memegang tradisi leluhur. Dalam keluarganya, terdapat kamar khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun kecuali ayahnya, bahkan ibunya sendiri tidak diizinkan masuk.
Dalam tradisi kejawen yang dianut, terdapat proses “serah terima” keilmuan dari generasi ke generasi. Ketika seorang anak laki-laki memasuki masa akil baligh, ia berpotensi menjadi penerus ilmu leluhur. Awalnya, ayahnya berencana menurunkan ilmu ini kepada kakak pertamanya, namun kakak tersebut meninggal. Posisi itu kemudian beralih ke kakak kedua, tetapi dalam sebuah ritual penentuan, justru Mas Damar yang terpilih.
Proses penyerahan dimulai dengan pemanggilan moksa atau roh dari kakeknya yang sudah meninggal. Dalam ritual, Mas Damardan kakaknya duduk bersila dengan cara khusus, lalu masing-masing diminta menadahkan tangan. Sebuah keris yang dibungkus kain kafan diberikan kepada kakaknya, tetapi kakaknya langsung merasakan panas dan pingsan. Ketika keris itu dipindahkan ke tangan Damar, ia tidak merasakan apa-apa, sehingga kakeknya memutuskan bahwa dialah penerus ilmu keluarga.
Keesokan harinya, Mas Damar dibawa oleh ayah dan kakeknya menuju Alas Roban untuk menjalani tirakat. Perjalanan dari Demak ke Alas Roban ditempuh hampir seharian.
Setibanya di lokasi, Mas Damar diuji untuk menemukan “pohon putih” dengan mata tertutup. Dalam penglihatannya, ia melihat beringin putih bercahaya dengan pancuran bernama Poncowati di depannya. Pohon ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang terpilih. Di bawah beringin tersebut, dibuat lingkaran pembatas tempat ia harus duduk selama tirakat.
Ia diminta membuka semua pakaiannya dan hanya mengenakan kain kafan sebagai “sarung”. Peraturan tirakat jelas: ia tidak boleh keluar dari lingkaran, apa pun yang terjadi, dan hanya boleh makan serta minum apa pun yang muncul di hadapannya.
Hari pertama, ia tidak mendapat makanan sama sekali. Hari kedua, makanan muncul berupa nasi tumpeng kecil, lauk sederhana, air putih, dan teh manis. Makanan selalu muncul di hari genap, sementara di hari ganjil tidak ada. Seiring waktu, jenis makanan berubah, dari nasi menjadi bunga melati, kemudian bunga kantil kuning yang selalu berjumlah tiga butir setiap kali muncul.
Memasuki hari ke-7, ia mulai melihat makhluk gaib seperti kuyang, pocong, dan gondoruwo. Rasa takut perlahan hilang, bahkan ia mulai mengenali mereka. Pada hari ke-15, muncul sosok “menjangan” setengah badan perempuan cantik bertanduk, diiringi prajurit-prajurit gaib. Setelah itu, makanan yang muncul selalu berupa bunga kantil kuning hingga hari ke-90.
Di hari terakhir tirakat, sosok menjangan berbicara untuk pertama kalinya. Ia mengatakan makanan kali ini diambil dari Laut Selatan. Yang muncul adalah bunga Wijaya Kusuma di atas nampan emas beraroma harum. Mas Damar diajari tata cara memakan bunga tersebut dengan doa dan aturan tertentu, termasuk memakan kelopak dari bawah secara berlawanan arah jarum jam hingga habis, lalu menelan inti bunga berbentuk bulat yang dapat berubah warna.
Malam itu ia mengalami hujan lebat di kedua dimensi yang ia lihat: dunia nyata dan dunia terang tanpa malam. Keesokan paginya, ayah dan kakeknya datang, namun ritual belum berakhir. Pada hari ke-91, Mas Damar dimandikan dan dipakaikan pakaian pengantin, termasuk keris yang pernah ia terima. Ia merasa bingung karena belum tahu tujuan selanjutnya, tetapi ritual itu mengarah pada sebuah peristiwa yang disebutnya sebagai “kawin paksa” dengan makhluk gaib yang kisah detailnya ia simpan untuk bagian lanjutan.
Bagi Mas Damar, pengalaman ini bukan hanya ujian fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang penuh misteri. Ia memegang pesan dari keluarganya bahwa jalur yang dipilih, baik atau buruk, adalah tanggung jawab pribadi dan harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.