Kisah ini bermula dari permintaan bantuan seorang sahabat bernama Pak Asep kepada Kang Oman, seorang praktisi ruqyah non-komersil. Target bantuan kali ini adalah Bu Eli, istri Pak Anton, seorang sopir angkot di Bogor, yang mengalami gangguan aneh. Perilaku Bu Eli berubah drastis: sering mengambil alat-alat rumah tangga seperti palu atau pisau dan mencoba memukul suaminya dengan alasan aneh jika melakukannya, ia akan menjadi kaya.
Dari cerita Pak Anton, diketahui bahwa beberapa waktu sebelumnya, Bu Eli mengikuti rombongan warga ke sebuah kebun yang sering dijadikan tempat ziarah. Awalnya disangka makam ulama, namun ternyata lokasi itu adalah tempat pesugihan dengan penjaga gaib berupa dua ekor kera satu berwarna hitam polos, satu lagi hitam belang putih seperti panda.
Sejak “ziarah” itu, Bu Eli kerap mendapat dorongan gaib untuk melakukan kekerasan demi kekayaan. Kondisinya pun semakin tidak terkendali.
Ruqyah dilakukan di lantai 4 sebuah ruko. Begitu Kang Oman memegang tangan Bu Eli, listrik di seluruh ruko mati total. Situasi menjadi kacau banyak orang di lantai bawah kesurupan dengan perilaku mirip monyet.
Ketika listrik kembali, sosok gaib besar menyerupai monyet dengan mata merah menyala terlihat di belakang Bu Eli. Terjadi perdebatan batin antara Kang Oman dan makhluk itu. Makhluk tersebut mengklaim Bu Eli sudah “terikat kontrak” untuk menjadi kaya dan meminta pengganti jika ingin dilepaskan. Permintaan itu ditolak, dan makhluk tersebut akhirnya dipindahkan ke pohon melinjo sesuai kesepakatannya.
Setelah kondisi Bu Eli mulai membaik, terungkap bahwa ia memiliki hutang besar hingga ratusan juta rupiah. Hutang tersebut mendorongnya mencari jalan pintas melalui pesugihan. Ia diberi sebuah “kotak uang” dengan susunan khusus lapisan atas berisi uang hasil jualan, lapisan bawah berisi uang gaib, lengkap dengan bunga saga dan menyan sebagai “pemancing”.
Penghasilan Bu Eli dari warung sembako mencapai Rp5 juta per hari angka yang tidak wajar untuk usaha kecil di lingkungannya. Dengan aliran uang itu, ia berhasil membeli mobil dan rumah senilai Rp600 juta dalam empat tahun.
Tak lama setelah menyelesaikan kasus Bu Eli, Kang Oman menangani kasus serupa di Semarang. Seorang wanita bernama Bu Suti mengalami penurunan berat badan drastis dan hanya bisa berbaring. Ditemukan sebuah kendi besar di dekat kamar mandi yang menjadi “rumah” tuyul peliharaannya.
Tuyul tersebut mengaku tidak pernah diberi makan selama empat tahun, meski terus diminta mencari uang. Pendapatan dari warung Bu Suti pun tak wajar—ratusan ribu rupiah per hari tanpa pembeli yang signifikan. Kendi itu akhirnya dibuang ke laut, dan kondisi Bu Suti berangsur pulih.
Dalam kedua kasus, terungkap adanya “kontrak” antara pelaku pesugihan dan makhluk gaib. Bu Eli memiliki kontrak tujuh tahun dan baru berjalan empat tahun ketika meminta pemutusan. Untungnya, kontrak bisa dibatalkan melalui pengembalian seluruh barang hasil pesugihan.
Namun, Kang Oman menegaskan, tidak semua kontrak bisa diputus. Pada kasus tertentu, pelaku akan meninggal sebelum sempat bertaubat, karena perjanjian tersebut mengikat hingga nyawa melayang.
Pesugihan memang menjanjikan kekayaan instan, tetapi selalu membawa konsekuensi. Dalam Islam, perbuatan ini termasuk syirik yang tidak diampuni. Kang Oman menekankan pentingnya mencari rezeki dengan cara yang halal, melalui kerja keras dan doa, bukan jalan pintas yang menggadaikan keselamatan dunia dan akhirat.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.