Jumat Pahing, 30 Mei 2025, pukul 09.57 WIB, bumi berguncang di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Gunung Kuda, yang selama puluhan tahun ditambang tanpa henti, akhirnya runtuh. Longsor dahsyat itu menelan sedikitnya 25 korban jiwa dan melukai puluhan lainnya. Material batu sebesar rumah dan tumpukan tanah sedalam puluhan meter menghantam area tambang, meremukkan dump truck dan alat berat seolah hanya mainan.
Di balik hiruk-pikuk evakuasi, di antara tangis keluarga korban dan doa bersama tim SAR, terselip kisah-kisah mistis yang membuat tragedi ini terasa lebih dari sekadar bencana alam. Abah Agus, relawan berusia 60 tahun yang terlibat selama tujuh hari pencarian korban, menuturkan bahwa longsor ini bukan datang tanpa tanda. Seminggu sebelum kejadian, alam seakan memberi peringatan. Ratusan kera turun gunung, bahkan ada yang berwujud sebesar manusia bergandengan seperti pasangan. Kidang sejenis rusa terus-menerus bersuara tiap sore, seakan menjerit memberi tahu akan datangnya bahaya. Namun manusia terlalu sibuk dengan urusan tambang dan rezeki harian. Lalu benar-benar menghiraukannya.
Gunung Kuda sendiri bukan gunung biasa. Dalam catatan sejarah, sejak abad ke-16 gunung ini sudah menjadi tempat singgah pasukan Cirebon dan Demak ketika hendak menyerang Galuh. Nama “Gunung Kuda” konon muncul karena tempat ini digunakan untuk mengikat kuda-kuda perang. Di era kolonial, seorang dokter Belanda yang juga ahli geologi menemukan bahwa perut gunung menyimpan kekayaan alam limestone, marmer, dan batu bintang yang nilainya triliunan rupiah. “Harta tujuh turunan,” begitu istilah yang melekat, karena meski digali terus, tak akan pernah habis. Namun, dalam mitos setempat, harta itu dijaga makhluk gaib, termasuk seekor kuda bersayap yang sesekali terdengar ringkihannya dari dalam gua. Warga menyebutnya Gua Jaran, gua kuda, yang dipercaya menjadi gerbang gaib tempat kuda terbang itu muncul.
Abah Agus sendiri pernah mendengar langsung cerita itu dari warga. “Kudanya ada jangjangnya, ada sayap,” ujarnya. Kadang terdengar ringkihan dari dalam gua, tanda bahwa penunggunya terus mengawasi. Bagi yang percaya, longsor besar ini bukan hanya akibat galian tambang, tapi juga murka dari penghuni Gunung Kuda yang marah melihat kerakusan manusia.
Hari-hari evakuasi berjalan berat. Zona pencarian dibagi tiga yaitu zona aman, zona rawan, dan zona merah yang hanya boleh dimasuki operator alat berat. Setiap anggota tim SAR diabsen sebelum turun ke lokasi, agar bila longsor susulan terjadi, semua bisa dihitung kembali. Namun di balik prosedur resmi, ada juga upaya dari keluarga korban yang mencari jalan lain. Seorang perempuan datang dengan botol air mineral, mendapat petunjuk dari seorang paranormal. Ia diminta mencari pohon pisang di sekitar longsoran, lalu menyiramkan air dari botol itu di dekatnya. Abah Agus yang mendampingi menyaksikan air itu menguap seperti asap, padahal sore itu masih terang. Anehnya, keesokan harinya, salah satu korban benar-benar ditemukan tak jauh dari lokasi yang ditandai perempuan tersebut.
Kisah lain datang dari seorang istri korban yang malam sebelum tragedi bermimpi giginya copot yang merupakan sebuah pertanda kematian dalam kepercayaan Jawa. Ada pula pekerja yang biasanya tak pernah pamit, pagi itu justru menyalami istri dan anaknya, bahkan mengecup kening mereka sebelum berangkat. Tak lama kemudian ia menjadi salah satu korban tertimbun. Ada pula seorang janda penjual minuman yang wajahnya pucat ketika mengantar kopi ke tambang. Tangannya gemetar saat menyerahkan gelas. Siang itu ia memaksa naik ke lokasi tambang meski dilarang, dan tak pernah kembali.
Di sela-sela kisah pilu itu, Abah Agus juga melihat hal-hal ganjil. Batu besar yang biasanya jadi tempat berteduh para penambang ikut bergeser dan menutup beberapa korban. Anjing pelacak sempat memberi tanda, namun material longsor setebal 30 hingga 50 meter membuat evakuasi mustahil dilakukan. Hingga operasi dihentikan pada 5 Juni, empat jasad masih terpendam di perut Gunung Kuda, bersama dua alat berat dan tiga dump truck yang tak pernah terangkat kembali.
Tragedi ini mengguncang banyak pihak. Pemerintah akhirnya menutup tambang, membuat parit besar untuk mencegah warga kembali menggali, dan menjanjikan solusi mata pencaharian baru berupa peternakan. Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, turun langsung memberikan santunan 50 juta bagi setiap keluarga korban, serta janji pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak-anak yang ditinggalkan.
Namun bagi warga sekitar, Gunung Kuda tetaplah tempat yang sakral. Di balik marmer dan limestone yang bisa dijual menjadi emas, tersimpan kekuatan gaib yang tak bisa dilihat mata. Kisah kuda bersayap yang keluar dari gua, ringkihan kuda yang terdengar di malam hari, dan firasat hewan-hewan yang resah, semuanya menyatu dalam keyakinan bahwa alam punya batas dan amarahnya sendiri.
Longsor di Gunung Kuda bukan sekadar musibah. Ia adalah peringatan bahwa kerakusan bisa menimbulkan murka, bahwa tanah yang digali tanpa henti akhirnya runtuh, dan bahwa ada hukum tak kasat mata yang berjalan seiring dengan hukum alam. Di balik reruntuhan batu dan debu, tersisa pelajaran pahit: jangan pernah menukar keselamatan dengan harta tujuh turunan yang menjanjikan, karena kadang harga yang dibayar adalah nyawa manusia itu sendiri.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.