Suara azan berkumandang sayu di Makkah. Ribuan jamaah bergegas menuju Masjidil Haram, memenuhi panggilan suci. Namun, di balik kesyahduan itu, tersimpan sebuah kisah kelam: perjalanan haji yang bukan semata ibadah, melainkan pintu menuju ritual pesugihan. Inilah kisah tentang Haji Darsono dan istrinya, Hajah Yuni, yang konon sudah 16 kali menunaikan haji bukan untuk mabrur, melainkan untuk memperkaya diri lewat ritual Kulah Yaman.
Cerita ini berawal dari pengalaman Mas Rully, seorang kolektor pusaka. Suatu hari ia dipertemukan dengan sepasang haji kaya raya, Darsono dan Yuni. Dari luar, pasangan ini tampak terhormat dan dermawan. Mereka rajin bersedekah, bahkan pernah menyumbangkan belasan ekor sapi untuk kurban di kampung. Namun, di balik kedermawanan itu, tersimpan praktik spiritual yang tak banyak diketahui orang.
Kecurigaan muncul saat Mas Rully diminta membantu menguji sebuah bambu petuk pusaka langka yang diyakini bisa membawa kekayaan. Ternyata, pasangan haji ini bukan sekadar kolektor benda mistis. Mereka terhubung dengan sebuah ritual gaib di tanah suci Kulah Yaman.
Kulah Yaman adalah sebuah bangunan tua, berjarak sekitar 1,5 km dari Masjidil Haram. Dahulu tempat itu hanyalah kolam air peninggalan arsitek keturunan Yaman. Namun, seiring waktu, sebagian jamaah justru memanfaatkannya untuk ritual pesugihan. Mereka berdiam diri di sana hingga 21 hari, melakukan tapa atau meditasi, mencelupkan kain, bahkan menelan minyak Malaikat Subuh minyak khusus yang konon menjadi syarat memperoleh kekayaan.
Konon, ciri orang yang pernah melakukan ritual Kulah Yaman bisa dikenali: lidahnya berbekas hitam akibat menelan minyak tersebut. Mas Rully sendiri mengaku melihat tanda itu pada lidah Haji Darsono dan Hajah Yuni setiap kali mereka berbincang dengannya.
Menurut kesaksian, setiap kali ke tanah suci, pasangan ini tidak sepenuhnya fokus beribadah. Selain tawaf dan rangkaian haji, mereka menyempatkan diri menuju Kulah Yaman. Di sana, mereka “memohon” pada sosok gaib yang menyebut dirinya sebagai penjaga harta dunia. Dengan kesungguhan ritual, mereka percaya akan kembali dengan limpahan rezeki.
Dan memang, sekembalinya dari perjalanan haji, kekayaan mereka seperti tak ada habisnya. Gudang beras, bisnis butik, tanah, bahkan proyek pembangunan padepokan besar berdiri megah. Haji Darsono dikenal luas sebagai dermawan, membiayai para preman untuk salat berjamaah dengan imbalan uang. Amal sosialnya menjadikannya dihormati masyarakat, seolah menutup rapat misteri ritual yang ia jalani.
Namun, semua kejayaan itu mulai pudar setelah perjalanan haji ke-16. Hartanya perlahan menyusut. Anak-anaknya terjerat judi, menjual tanah tanpa izin, hingga membuat kekayaan keluarga habis terkuras. Kesehatannya pun memburuk.
Haji Darsono meninggal dengan kondisi mengenaskan: matanya terbelalak, wajahnya menegang, dan jasadnya sulit dirapikan. Tak lama berselang, Hajah Yuni menyusul, wafat di hari yang sama dan jam yang sama dengan suaminya, hanya berbeda pekan.
Bagi sebagian orang, kematian mereka menjadi pertanda: tumbal dari perjanjian gaib bukan diambil dari anak atau keluarga, melainkan diri sendiri.
Kini, pemerintah Arab Saudi telah menutup Kulah Yaman. Tentara menjaga ketat area itu, melarang siapapun mendekat. Ritual-ritual yang dahulu dilakukan diam-diam oleh sebagian jamaah kini tinggal cerita. Namun, bagi mereka yang pernah menyaksikan atau mendengar langsung, jejaknya masih membekas kuat.
Kisah Haji Darsono menjadi pengingat bahwa ibadah bukan sekadar ritual fisik, melainkan soal niat. Haji mabrur hanya lahir dari hati yang tulus, bukan dari perjanjian dengan kekuatan gaib.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.