Di sebuah rumah sederhana, tangisan bayi malam itu terdengar nyaring namun aneh. Bayi kecil berusia tujuh bulan itu menangis kencang, tubuhnya panas, kepalanya menengadah seolah menolak untuk ditidurkan, tapi dari kedua matanya tak ada setetes air mata pun yang jatuh. Ibunya, Teh Vike, panik bukan kepalang. Sejak lahir lewat operasi caesar, sang buah hati selalu saja diganggu demam misterius yang muncul tiap sore menjelang malam. Malam itu suhu tubuhnya bahkan menembus 42 derajat. Hingga tetangga yang juga seorang perawat mengatakan dengan suara berat: “Teh, ini bayinya sudah enggak ada…”
Namun mukjizat datang. Seorang ustaz yang dipanggil ke rumah segera mengambil air, membacakan doa, lalu meneteskan ke bibir mungil bayi itu. Tak lama, bayi yang sudah dinyatakan meninggal selama lima menit tiba-tiba terbatuk, membuka mata, dan menangis. Semua orang di ruangan terperangah. “Alhamdulillah, hidup lagi…” seru Teh Vike sambil menangis haru. Ustaz itu lalu berkata, “Namanya ganti, jangan Sri. Namanya sekarang Rahayu. Artinya selamat.”
Kisah dramatis itu hanyalah puncak dari rentetan kejadian aneh yang dialami keluarga Teh Vike sejak ia bekerja di warung soto milik saudaranya, Bu Diana. Dari luar, warung itu tampak seperti rumah makan biasa yang selalu ramai. Soto yang gurih membuat pelanggan tak pernah sepi, omzetnya mencapai dua digit setiap hari. Namun di balik gentong kuah dan dapur yang selalu harum, ada rahasia hitam yang jarang diketahui.
Sejak hamil muda, Teh Vike sudah mulai merasa janggal. Bu Diana, sang pemilik warung, beberapa kali meminta agar kelak ari-ari bayinya diserahkan kepadanya. “Biar saya yang mendem, biar saya yang urus, kamu tenang saja,” begitu kata Bu Diana. Permintaan itu ditolak tegas oleh suaminya. “Itu teman anak saya, enggak boleh dikasih ke orang lain,” ucapnya. Penolakan itu membuat hubungan Teh Vike dengan Bu Diana renggang. Ia tak lagi diberi kepercayaan memegang gentong kuah, hanya bertugas melayani pelanggan di depan.
Namun Bu Diana terus berusaha melunakkan hati keluarga itu. Hampir setiap hari ia memberi Teh Vike uang tambahan, makanan, bahkan kue dan bolu. Sampai menjelang kelahiran, ia menyerahkan 500 ribu lengkap dengan dua kardus bolu, seolah memberi restu. Tapi di balik semua kebaikan itu, ada niat tersembunyi. Saat Teh Vike melahirkan lewat operasi caesar, Bu Diana datang menjenguk ke rumah sakit dan sekali lagi meminta ari-ari bayi. Suami Teh Vike menolak mentah-mentah, hingga Diana pulang dengan wajah masam sambil bergumam, “Dasar enggak tahu diuntung…”
Hari-hari setelah kelahiran semakin dipenuhi kejanggalan. Saat acara pemakaman ari-ari di rumah, seorang ibu pengajian mendadak kesurupan dan mengaku sebagai arwah ibu kandung Teh Vike yang sudah 25 tahun meninggal. Dengan suara bergetar ia berkata, “Isun pengin nengok putu isun. Melas karo putu isun…” Semua orang terdiam. Teh Vike kaget, karena seumur hidup ia tak pernah sekalipun bermimpi didatangi almarhum ibunya, apalagi kini muncul lewat tubuh orang lain.
Sejak saat itu, bayi kecilnya terus diganggu. Hampir tiap malam menangis, panas tinggi, rewel, namun anehnya bila dibawa keluar rumah, ia diam seketika. Lebih ganjil lagi, makam ari-ari yang ditanam di belakang rumah tiba-tiba berubah. Tanahnya rata, tanaman pelengkapnya hilang, seolah ada yang menggali. Suatu malam, suami Teh Vike mendengar suara seperti orang mencangkul di halaman, tapi tak berani mengecek karena hujan deras. Belakangan mereka baru sadar, kemungkinan besar ari-ari anaknya diambil orang.
Puncak kengerian terjadi ketika bayi mereka sempat dinyatakan meninggal, lalu hidup kembali. Ustaz yang membantu menjelaskan bahwa sang bayi sudah sempat “berada di alam lain” karena ari-arinya dijadikan tumbal pesugihan. “Anak ibu ini korban pesugihan. Bukan badannya yang diambil, tapi temannya, yaitu ari-arinya,” kata sang ustaz. Dugaan langsung mengarah pada Bu Diana, yang sejak awal memaksa meminta ari-ari itu.
Emosi memuncak. Suami Teh Vike mendatangi warung soto dan menampar Bu Diana di hadapan karyawannya. “Kurang ajar! Kamu tega mau jadikan anak saya tumbal?” teriaknya. Bu Diana menangis dan memohon ampun, mengakui bahwa ia memang melakukan pesugihan dengan media ari-ari bayi, dipandu oleh seorang dukun dan jenglot. Ia berjanji menutup usahanya agar tidak lagi ada korban.
Kini bayi itu, yang bernama Rahayu, tumbuh sehat dan berusia tujuh tahun. Namun ia mengalami kelainan: tak bisa berbicara hingga kini. Hasil tes medis menunjukkan pendengarannya normal, organ suaranya tak bermasalah, tetapi entah mengapa suaranya tak pernah keluar. Ia hanya bisa berkomunikasi dengan gerakan atau gambar. Trauma masa lalu keluarganya masih membekas, meski mereka telah berdamai dengan Bu Diana yang sudah bertobat dan menutup usahanya.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik kesuksesan yang tampak manis, ada kemungkinan jalan gelap yang ditempuh. Warung soto yang selalu laris bukan semata karena resep turun-temurun, melainkan perjanjian gaib yang menuntut tumbal. Dan tumbal itu, sering kali, adalah sesuatu yang paling berharga: nyawa, atau bahkan masa depan seorang anak.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.