Di sebuah rumah reyot di Tegal, malam itu Kang Daud menyaksikan sesuatu yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya. Sebuah lemari kayu tua dengan kaca buram dibuka, dan di dalamnya bukan pakaian atau tumpukan selimut, melainkan uang kertas lima puluh ribuan yang bertumpuk rapi, seolah baru saja keluar dari mesin percetakan. Pemilik rumah, seorang bapak sederhana, menoleh pada Kang Daud dan berkata pelan, “Ambil, Mas. Ini jatahmu. Sekali genggam.”
Kang Daud tercekat. Ia hanya seorang sopir yang ditugaskan mengantar bosnya keliling Jawa demi mengejar ritual pesugihan. Uang itu menggoda, namun batinnya berontak. “Saya tidak mau, Pak,” jawabnya tegas, meski bosnya yang berdiri di sampingnya sudah menyikut-nyikut, menyuruhnya menerima. Adegan itu menjadi titik puncak dari perjalanan panjang yang bermula dari sebuah benda sepele yaitu majalah mistis.
Majalah tua itu berisi kisah-kisah pesugihan di berbagai daerah seperti Gunung Kawi, Gunung Kemukus, Ponorogo, Malang, Temanggung. Bagi sang bos, lembaran-lembaran usang itu bukan sekadar bacaan, melainkan peta menuju kekayaan instan. Setiap nama desa, setiap lokasi yang disebut, pasti ia datangi. Kang Daud, yang awalnya hanya terjebak karena pertemanan, ikut terseret menjadi sopir setia, mengantar dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa henti.
Salah satu perjalanan paling menyeramkan terjadi di Temanggung. Di sebuah sumur tua, tengah malam tepat pukul dua belas, Kang Daud menyaksikan juru kunci membakar dupa dan memanggil sesuatu. Dari seberang bibir sumur, muncullah seorang anak kecil laki-laki, menangis ketakutan. Ayahnya yang tak lain adalah pria yang ditemui Kang Daud di jalan dan sudah putus asa karena hutang melemparkan uang mahar ke arah anak itu. Seketika, bocah itu lenyap dalam kepulan asap, tak bersisa. Kang Daud terdiam, tubuhnya gemetar. Ia sadar sedang menyaksikan tumbal manusia, darah daging sendiri yang ditukar demi harta.
Bosnya ikut mencoba. Sosok perempuan muncul, konon orang yang ingin ia korbankan. Namun ritualnya gagal. Perempuan itu tetap hidup, bahkan ketika bosnya pulang dan mendapati ia masih segar bugar. Kegagalan itu membuat sang bos murka. Ia menyalahkan juru kunci, menyalahkan pantangan, bahkan menyalahkan dirinya sendiri karena sempat mampir di rumah korban hal yang jelas-jelas dilarang. Tapi alih-alih berhenti, ia justru makin terobsesi.
“Kalau gagal di sini, kita ke tempat lain,” katanya. Lalu majalah itu kembali dibuka, halaman demi halaman, seperti kitab kelam yang menuntun langkah. Gunung Kemukus menjadi tujuan berikutnya.
Gunung Kemukus terkenal dengan ritualnya yang berbeda. Di sana, pesugihan tidak dilakukan dengan darah, melainkan syarat hubungan terlarang. Tujuh kali pertemuan di malam Jumat Kliwon dengan pasangan yang sama, di kamar-kamar sempit yang sudah disediakan. Bagi sebagian orang, syarat itu terdengar mudah, tapi bagi bos Kang Daud yang sama sekali tidak menyukai perempuan syarat itu seperti mimpi buruk. Begitu mendengar penjelasan juru kunci, wajahnya pucat, tangannya bergetar. “Cari tempat lain,” bisiknya, buru-buru menutup obrolan.
Namun bagi Kang Daud, pengalaman paling aneh bukanlah di sumur Temanggung atau kamar-kamar Kemukus. Melainkan di rumah reyot Tegal itu, ketika lemari penuh uang gaib ditunjukkan kepadanya. Uang itu nyata, bisa dipegang, bisa digenggam. Tapi Kang Daud menolak. “Saya masih punya iman,” katanya kepada bosnya. Ia sadar, setiap lembar uang yang tampak menggiurkan itu dibayar mahal dengan nyawa manusia yang ditumbalkan.
Kini, bertahun-tahun setelah perjalanan kelam itu, Kang Daud sudah meninggalkan dunia pesugihan. Ia beralih menjadi terapis kesehatan dan peruqyah, membantu orang lain yang sakit, seolah menebus masa lalunya. Tapi ingatan itu tak pernah hilang. Tentang sumur tua yang melahirkan tangisan bocah, tentang kamar-kamar Kemukus yang dipenuhi dosa, dan tentang lemari penuh uang yang terasa lebih menyeramkan daripada kemiskinan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.