Di sebuah desa terpencil di selatan Cianjur, malam itu Pak Rahman duduk terpaku di depan sebuah gua yang menghadap langsung ke deburan ombak pantai selatan. Di hadapannya ada kubangan kecil berisi air. Dari lubang itulah ia akan masuk, bukan untuk sekadar menelusuri gua, melainkan untuk menjemput sesuatu yang disebut-sebut sebagai jalan pintas menuju kekayaan uang ghaib siluman Buaya Putih.
Perjalanan ke sana tidak mudah. Setelah gagal di Gunung Hejo, Pak Rahman yang terlilit hutang hingga 50 juta mendapat saran dari seorang kenalan untuk mencoba pesugihan di Cidaun, Cianjur Selatan. Syaratnya berat ia harus menyiapkan sesaji berupa daging babi, daging anjing, buah-buahan, bunga, dan kemenyan. Semua kebutuhan itu dibantu seorang perantara bernama Pak Agus, yang juga ikut mengantar. Namun sejak perjalanan dimulai, pertanda buruk sudah tampak. Mobil yang mereka tumpangi sulit menanjak, bannya pecah, hingga cuaca mendadak hujan deras. “Sudah disambut penghuni sana,” kata Pak Agus dengan wajah tegang.
Setiba di rumah seorang sesepuh yang menjadi juru kunci, Pak Rahman diminta menghafal mantra. Malam itu juga, ia dipandu menuju gua. Benar saja, pintunya bukan berupa lorong terbuka, melainkan kubangan air. Dengan nekat ia menyelam, dan begitu muncul di dalam, ia sudah berada di ruang gua gelap dengan cahaya samar dari dupa. Saat tangannya menempel di batu, tubuhnya penuh lintah. Ia bergidik, mengingat adegan film survival, sambil mencabut lintah satu per satu.
Ia merangkak menuju altar sajen, duduk bersila, dan membaca mantra yang diajarkan. Suasana mencekam segera terasa. Pada bacaan pertama, terdengar jeritan menyayat dari anak kecil, orang tua, hingga perempuan jeritan mereka yang konon sudah menjadi tumbal. Pada bacaan berikutnya, muncul suara keramaian pasar, seolah-olah ia berada di tengah banyak orang. Ular besar tiba-tiba merayap naik ke tubuhnya, melilit lehernya, menatap tajam seakan hendak mematuk. Pak Rahman pasrah, ingat pesan juru kunci: jangan lari, jangan melawan.
Puncaknya, terdengar suara khas dari kejauhan: lenguhan berat mirip teriakan buaya. Semakin lama semakin dekat, hingga moncong buaya raksasa muncul tepat di depannya. Separuh tubuhnya buaya, separuh lainnya menyerupai manusia. Bau amis menusuk hidung, membuat Pak Rahman hampir pingsan. Makhluk itu bertanya dalam bahasa Sunda, “Naon nu dipikahoyong? (Apa yang kau inginkan?)” Dengan gemetar, Pak Rahman menjawab sesuai pesan meminta uang yang banyak. Sang Buaya Putih mengangguk. “Daék jadi tumbal aing? (Siap jadi tumbalku?)” tanya makhluk itu. Pak Rahman mengangguk, tapi dengan syarat diberi waktu seminggu, agar bisa melunasi hutangnya dulu.
Tiba-tiba ruangan gua terang. Buaya lenyap, berganti dengan tumpukan uang berceceran di batu dan air kubangan yang memerah. Pak Rahman kalap. Ia segera mengisi kresek yang dibawanya sampai penuh. “Yes, berhasil!” teriaknya dalam hati. Ia yakin semua penderitaan akan berakhir hutang lunas, hidup berubah.
Namun kebahagiaan itu hanya bertahan singkat. Tiga hari kemudian, tubuhnya mulai merinding hebat. Rasa dingin menjalar dari kaki ke kepala, lalu berhenti di ulu hati, seakan diperas hingga nyawanya hendak tercabut. Ia menjerit kesakitan. Juru kunci berkata, “Sekarang saatnya kau diambil. Kalau tidak, uangmu hilang.” Pak Rahman terperanjat. Baginya tak masuk akal apa gunanya uang jika nyawanya harus melayang? Dalam keadaan sekarat, ia menolak. “Saya tidak mau! Buat apa dapat uang kalau saya mati? Siapa yang menikmatinya?”
Sekejap kemudian, rasa sakit itu perlahan mereda. Kresek berisi uang berubah menjadi kosong, hanya menyisakan plastik lembap dan bau amis. Pak Rahman sadar, pesugihan Buaya Putih hanya akan menukar nyawa dengan harta. Ia pulang dengan tubuh lemas, tanpa uang, tanpa hasil, hanya pengalaman pahit dan trauma.
Kini, bertahun-tahun setelah kejadian itu, hutangnya belum sepenuhnya lunas. Namun ia memilih bekerja keras sebagai sopir, mencicil sebisanya, daripada menggadaikan hidup pada makhluk ghaib. “Pesugihan itu nyata,” katanya. “Saya lihat sendiri uangnya. Tapi tumbalnya juga nyata. Kalau bukan diri kita, pasti keluarga kita.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.