Nama Acong dulunya harum di Cirebon. Ia dikenal sebagai pemilik toko emas besar, bisnis berlian yang nyaris tak punya tandingan. Hidupnya mapan, mobil mewah berganti, dan pelanggan berderet. Namun di balik segala kemewahan itu, ada sisi gelap yang tak banyak orang tahu. Bersama Kang Daud, sopir sekaligus pengawalnya, ia menempuh perjalanan panjang menyusuri Jawa, bukan untuk berdagang, melainkan mengejar sesuatu yang lebih berbahaya yaitu pesugihan.
Semua berawal dari sebuah majalah usang dengan sampul kusam. Majalah itu bukan bacaan biasa, melainkan katalog sesat berisi peta lokasi-lokasi keramat tempat orang mencari harta gaib. Setiap kali membuka halamannya, Acong menemukan “petunjuk baru” yang diyakininya sebagai jalan menuju kekayaan berlipat. Dari Gunung Kawi hingga Goa Kalak di Pacitan, dari Gunung Kemukus hingga desa terpencil di Ponorogo, semua ia datangi. “Mau kaya, kaya sekalian. Kalau melarat, melarat sekalian,” begitu motonya.
Di Gunung Kemukus, ia gagal. Syarat hubungan terlarang tujuh kali malam Jumat Kliwon tak bisa dipenuhi karena ia tak berhasrat pada perempuan. Dari sana perjalanan berlanjut ke Ponorogo, ke rumah seorang kakek penjaga tuyul. Dengan mata kepala sendiri, Kang Daud melihat sosok-sosok kecil berkepala licin, tubuh berlendir, ingus mengalir, keluar dari gentong yang ditutup telur ayam kampung. Si kakek menawarkan dua pilihan tuyul kelas bawah dengan mahar lima juta, atau tuyul spesialis pengambil uang seratus ribuan dengan mahar sepuluh juta. Acong nyaris tergoda, tapi syaratnya membuatnya mundur. Tuyul harus “disusui” dari istrinya. Acong tak punya istri, dan tak sanggup memenuhi syarat itu. Ritual pun dibatalkan.
Namun ia tak menyerah. Di Malang, ia mencoba ritual lain. Bersama Kang Daud dan seorang rekannya, ia naik ke bukit karang di tepi pantai. Di sebuah kamar serba hijau dengan altar batu, mereka menjalani prosesi dipandu juru kunci. Malam itu, Kang Daud yang awalnya hanya ikut mengantar justru dipaksa masuk ke ruang ritual. Di dalam, ia menyaksikan sosok perempuan berbusana kebaya putih muncul, menyapa dengan salam Islam. Sosok itu diyakini sebagai perwujudan penguasa laut selatan. Kepada Kang Daud, ia menghadiahkan sebuah batu keong putih tembus pandang dan selembar uang 50 ribu yang tak pernah habis meski dibelanjakan. Sementara Acong dan rekannya justru pulang dengan tangan kosong.
Uang gaib itu sempat diuji. Dipakai membeli rokok, uang 50 ribu kembali ke dompet, tak berkurang sepeserpun. Kang Daud ketakutan, lalu menyerahkannya ke kakaknya. Namun uang itu berhenti bekerja begitu berpindah tangan. Batu keong ia berikan ke guru spiritual Acong, yang mengaku sebagai “suami kesembilan Ratu Kidul”. Anehnya, ketika Kang Daud menggenggam batu itu dan menyebut nama sang Ratu dalam hati, terdengar suara kereta kencana di atas genting rumah sebuah pertanda bahwa kekuatan batu itu nyata.
Namun semua kejayaan itu hanya sesaat. Tak sampai sebulan, toko emas Acong lenyap hartanya. Bukan kebakaran, bukan perampokan, bukan pula penipuan. Emas, berlian, dan uangnya seolah menguap begitu saja. Mobil Innova miliknya dijual, namun uang hasil penjualan tak bertahan lama, kembali hilang entah kemana. Rekannya, Pak Dodi, jatuh sakit hingga gagal ginjal, kemudian terpuruk menjadi penjual kacamata keliling. Sedangkan Acong, yang dulunya disegani, terpaksa menumpang hidup di rumah Kang Daud, hanya untuk makan dan rokok sehari-hari.
Keluarganya marah, menyalahkan Kang Daud sebagai orang yang menyeret Acong ke jalan sesat. Padahal Daud hanya saksi, bahkan berulang kali mencoba mengingatkan. “Kalau mau kaya, kaya sekalian. Kalau mau hancur, hancur sekalian,” kata juru kunci di Malang dulu. Kata-kata itu kini terasa seperti kutukan yang benar-benar terjadi.
Akhir hidup Acong tragis. Setelah jatuh miskin, ia kabur ke Tasik, bekerja serabutan, bahkan sempat jadi kuli bangunan. Beberapa waktu kemudian, kabar duka datang: ia meninggal dunia, meninggalkan kisah getir tentang keserakahan yang berujung petaka. Batu keong, uang gaib, hingga tuyul yang tak jadi dibeli, semua hanya serpihan cerita dari perjalanan sia-sia seorang bos emas yang menukar kejayaan dengan ilusi pesugihan.
Kang Daud kini hidup sederhana sebagai terapis dan peruqyah. Tapi setiap kali mengingat perjalanan itu, ia selalu berkata “Kalau Allah tidak menghendaki, sehebat apa pun kita memaksa, tidak akan bisa. Pesugihan itu hanya jalan buntu. Kaya sebentar, hancur selamanya.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.