Di tepian rawa berselimut kabut pagi, di daerah Brebes, tersimpan legenda tua tentang Dewi Seringgi ratu siluman babi penjaga kekayaan duniawi. Mereka yang datang ke tempatnya membawa harapan akan harta dan keselamatan, tapi jarang ada yang pulang tanpa kehilangan sesuatu.
Tahun 2018, Pak Agun, seorang karyawan dunia hiburan malam yang baru dipecat dari pekerjaannya, datang ke sana dalam keputusasaan. Setelah enam tahun bekerja di tempat karaoke, hidupnya terjun bebas: tak punya tabungan, tak punya pesangon, dan kontrakan yang nyaris tak terbayar. Istrinya menahan lapar, anaknya butuh uang sekolah, dan tak ada satu pun saudara yang bisa menolong.
“Saya waktu itu cuma mau nyari makan buat anak-istri, Mas. Tapi rasanya semua jalan ditutup,” ujarnya lirih.
Ia sempat jadi tukang pijat, lalu buruh bangunan. Tapi penghasilannya tak cukup menutup kebutuhan harian. Dari situ, pintu menuju dunia gelap mulai terbuka. Kakaknya memperkenalkan seorang teman spiritual yang konon tahu jalan pesugihan cepat. Jalur itu disebut “kontrak umur,” dilakukan di empat titik keramat Dewi Malela, Wewe Gombel, Ki Bawuk, Maung Pitu, dan sang penguasa kekayaan terbesar Ratu Seringgi, Siluman Babi.
Malam itu, Pak Agun dan tiga rekannya berangkat dengan empat motor menuju Brebes. Di tengah perjalanan, motor yang ia kendarai mendadak mati seolah menabrak sesuatu tak kasat mata. Saat diservis, tak ada kerusakan sama sekali. “Kayak ada yang nabrak dari depan, tapi enggak kelihatan apa-apa,” katanya. Sejak saat itu, perjalanan terasa ganjil udara mendadak dingin, suara-suara dari arah sawah terdengar, dan salah satu rekan mereka muntah darah ringan sebelum tiba di lokasi.
Sesampainya di tempat tujuan, mereka disambut Abah Kasor, kuncen penjaga tempat. Ritual dimulai pukul sebelas malam. Abah menyalakan tujuh batang hio dan menyerahkan rapalan aneh yang disebut “Syahadat Setan Wali Kubro.”
“Kota kate wali syahadat setan wali kubro…” begitu bunyinya.
“Katanya itu syahadatnya iblis,” ujar Pak Agun.
Mereka diminta membaca tanpa henti, duduk di atas terpal di antara rumpun bambu hitam yang disebut sebagai gerbang dunia gaib Ratu Seringgi.
Malam pertama hanya diwarnai suara-suara aneh jeritan, tawa cekikikan, dan suara seperti orang disiksa. Di malam kedua, angin berputar di sekitar mereka, sementara di kejauhan terdengar suara ngorok babi dari arah rawa. Bau amis menyengat memenuhi udara. Abah Kasor berkata, “Itu tandanya Ibu Dewi mulai hadir.”
Malam ketiga menjadi puncak. Dari kegelapan muncul wujud-wujud gaib Wewe Gombel berambut gimbal setinggi lutut, Maung Pitu dalam bentuk harimau besar bermata api, dan di belakang mereka, kabut berputar membentuk sosok separuh manusia, separuh babi Ratu Seringgi.
“Suara ngoroknya bikin tanah bergetar. Saya enggak bisa gerak,” kenangnya.
Dua rekan lari ketakutan karena hujan deras mengguyur, hanya Pak Agun yang bertahan. Abah Kasor menyebut, “Yang lari tak akan diberi. Yang tetap di tempat, itulah yang terpilih.”
Tak lama kemudian, muncul dua karung goni berisi uang—sekitar dua miliar rupiah dalam wujud gaib. “Tapi panasnya luar biasa. Baru didekati dua puluh sentimeter, tangan saya kayak terbakar,” ujar Pak Agun.
Karena tempat penyerahan tidak sesuai dengan wilayah kekuasaan Ratu Seringgi, uang itu tak bisa digunakan. Abah Kasor lalu memberi saran untuk “menyerahkan perjanjian baru.” Syaratnya hanya satu: anak laki-laki pertama Pak Agun dijadikan tumbal.
Awalnya ia menolak. Tapi saat melihat uang benar-benar muncul di depan mata, hatinya goyah. Ia sepakat. Dua hari kemudian, uang itu benar-benar datang dua karung besar berisi lembaran merah. Tapi saat hendak mengambil, anaknya tiba-tiba muncul di depan mata, memanggil “Ayah…” meski jaraknya puluhan kilometer dari rumah.
Setiap kali ia mencoba menyentuh uang itu, anaknya muncul. Hingga suatu malam, kabar datang dari mantan istrinya anak mereka mendadak sakit aneh, bengong, tak bisa bicara, dan tak merespons panggilan. Abah Kasor menjelaskan, “Sukmanya sudah diambil. Yang tersisa hanya jasad.”
Ketakutan melanda. Pak Agun memohon agar perjanjian dibatalkan. Sang Abah kemudian menengahi, mengganti tumbal dengan dua ekor ayam cemani jantan. Setelah ritual itu, Ratu Seringgi datang untuk terakhir kalinya.
“Kamu manusia yang aneh,” kata suara gaib itu. “Kau sudah ku beri, tapi kau tolak. Uang ini milikku kembali.”
Uang itu hilang dalam sekejap. Ayam cemani yang dijadikan tumbal juga lenyap tanpa jejak. Yang tersisa hanyalah aura berat di rumah kontrakannya bau amis bercampur dupa.
Namun anaknya perlahan pulih. “Butuh sebulan lebih. Tapi alhamdulillah sadar lagi. Kalau malam, masih suka ketakutan,” ujarnya lirih.
Sejak saat itu, hidup Pak Agun tak pernah sama. Rezekinya seret, usahanya gagal, dan orang-orang di sekitarnya menjauh tanpa sebab. “Kayak dibenci semua orang. Saya datang ke mana pun, orang langsung enggak suka. Rezeki enggak ngalir. Rumah tangga pun gagal dua kali,” ujarnya.
Kini ia hidup sederhana, bekerja serabutan, dan lebih banyak membantu merawat kakaknya yang sakit ginjal. Tapi bayangan masa lalu itu masih menghantui. Ia sering bermimpi dikejar babi besar dengan mata merah menyala.
“Saya tahu ini harga dari janji dulu,” katanya. “Makanya saya enggak mau ulang lagi. Sekaya apa pun, enggak sebanding sama nyawa anak sendiri.”
Kisah Pak Agun menjadi pelajaran getir bahwa pesugihan tidak pernah benar-benar memberi, melainkan menukar dengan cinta, keluarga, bahkan jiwa. Dan di rawa Seringgi, janji setan selalu menagih.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.