Hidup di bawah bayang-bayang orang tua yang keras membuat Bang Jerry merasa terpenjara. Sejak kecil, ia tumbuh di keluarga guru di Tapanuli Utara, diajarkan disiplin dan kepatuhan tanpa ruang berekspresi. “Saya enggak pernah diizinkan keluar malam. Dibilang anak mami terus. Tiga tahun saya nganggur, enggak punya pacar, enggak punya teman. Rasanya kayak hidup di kurungan,” katanya lirih.
Suatu pagi tahun 2016, setelah pertengkaran hebat dengan ibunya, ia nekat berangkat merantau. Hanya berbekal uang Rp80.000 dan tas ransel, Bang Jerry meninggalkan rumah dengan satu tekad: membuktikan bahwa dirinya bisa hidup tanpa bantuan keluarga. Ia naik bus tujuan Riau, tanpa tahu harus turun di mana. “Saya cuma pengin kerja, biar enggak dibilang anak manja. Tapi malah dapat pengalaman yang di luar nalar,” katanya.
Sesampainya di Bagan Batu, Riau, ia ditolong oleh seorang pria tua yang dipanggil Wak Sampluk, seorang buruh sawit yang baik hati. Bang Jerry diajak bekerja di ladang, belajar memangkas daun, menunas pelepah, hingga memanen buah sawit tinggi. Hidupnya mulai tenang, meski tanpa gaji. Namun, pergaulannya perlahan berubah.
Teman-temannya di ladang mengajaknya ke lapo tuak, warung minuman khas Batak. Di situlah ia pertama kali belajar minum alkohol. “Saya pengin ngerasain bebas kayak orang lain,” katanya. Tapi kebebasan itu justru menyeretnya ke arah kelam: pencurian sawit dan pertemuan dengan makhluk halus.
Malam itu, Bang Jerry dan dua temannya nekat “ninja” mencuri sawit di perkebunan sebelah. Sekitar tengah malam, mereka mulai memanen. Di perjalanan kedua, Bang Jerry mencium bau busuk luar biasa, seperti bangkai yang membusuk di bawah terik. Ia menoleh dan melihat dua kaki tergantung di pohon sawit, terbungkus kain putih. Dari balik pelepah, muncul sosok dengan rambut panjang dan wajah tertutup kain, berdiri diam menatapnya.
“Saya mau lari tapi badan enggak bisa gerak. Cuma bisa doa,” ceritanya. Sosok itu kemudian tertawa, suaranya melengking panjang di antara pepohonan. Bang Jerry berlari sambil merangkak, meninggalkan sawit dan alat panen. Teman-temannya tak sadar apa yang terjadi. Sejak malam itu, ia demam tinggi dan selalu mimpi dikejar perempuan berbaju putih di ladang.
Tak lama kemudian, teman satu timnya hilang tanpa jejak saat mencuri di lokasi yang sama. Hanya bau amis dan sisa buah sawit yang ditemukan. Warga menyebut tempat itu “tanah angker bekas mati bunuh diri.”
Beberapa minggu setelah kejadian itu, Bang Jerry melihat makhluk lain: perempuan berpakaian merah darah, wajahnya hancur tapi tubuhnya wangi bunga melati. “Saya pikir perempuan lewat. Begitu saya tengok lagi, hilang. Dari situ saya tahu yang saya lihat bukan manusia.” Malam itu juga ia kabur dari tempat kerja, hanya membawa uang Rp100 ribu dan pakaian di badan. Ia menumpang truk menuju Medan, meninggalkan semua yang pernah ia jalani.
Namun ketenangan itu hanya sebentar. Tak lama setelah di Medan, pamannya memintanya bekerja di proyek pembukaan hutan panas bumi di daerah Paha Julup. Di sanalah pengalaman supranaturalnya mencapai puncak.
Tugas Bang Jerry sederhana: mengantar nasi untuk pekerja proyek. Tapi pada hari ketiga, ia melewati jalan yang dilingkari police line proyek, masuk ke jalur berbatu belerang. Tiba-tiba, garis kuning itu menghilang. Hutan yang tadinya terbuka berubah menjadi rimbun dan asing.
“Saya lihat burung murai, burung kesukaan saya dari dulu. Saya kejar, makin dalam, makin dalam, sampai saya sadar enggak tahu lagi arah jalan keluar.”
Saat berhenti, ia menemukan perkampungan aneh di tengah hutanorang-orang berjualan dengan sistem barter, mengenakan ulos, berbicara dengan dialek Batak kuno yang nyaris tak bisa ia pahami. Seorang perempuan tua yang ia panggil Opung menyambutnya. “Dia bicara logat Batak mentah, tapi saya bisa ngerti. Katanya saya harus istirahat dan jangan pulang dulu.”
Bang Jerry tinggal bersama perempuan itu entah berapa lama. Matahari tak pernah berganti malam. Waktu berhenti di satu titik. “Setiap saya lihat langit, tetap siang jam setengah tiga. Enggak pernah berubah,” katanya.
Suatu hari, Opung memberinya bungkusan kecil. “Ini oleh-oleh,” katanya dengan nada datar. Ketika Bang Jerry menoleh untuk berterima kasih, dunia di sekelilingnya berputar. Ia tiba-tiba sudah berada di tepi sungai penuh bau belerang. Malam telah turun, dan semua berubah gelap. “Saya sadar, saya baru keluar dari dunia lain,” ucapnya.
Dengan sisa tenaga, ia mengikuti aliran sungai hingga akhirnya muncul di desa Siba Ganding, kampung asalnya. Warga kaget melihat kondisinya yang pucat dan kurus, sementara di tangannya masih tergenggam nasi bungkus yang seharusnya dikirim ke proyek utuh, tak berubah. Setelah diperiksa, Bang Jerry mengaku hanya merasa seperti hilang satu hari. Namun, menurut pekerja proyek, ia menghilang selama hampir seminggu.
“Saya pikir cuma sehari, ternyata enam hari saya enggak ada kabar,” katanya. Setelah itu, ia sering bermimpi kembali ke pasar aneh dan melihat wajah Opung memanggilnya.
Kini Bang Jerry bekerja sebagai tukang bangunan di Tapanuli. Ia jarang keluar malam, tak lagi ke hutan, dan selalu membawa sejumput garam setiap bepergian nasehat pamannya untuk menolak makhluk gaib. “Saya enggak mau lagi sombong, enggak mau ngelawan kata orang tua. Kadang nasihat keras itu memang cara Tuhan menjaga,” katanya menatap kosong.
Meski sudah bertahun-tahun berlalu, Bang Jerry masih menyimpan bungkusan kecil dari Opung kain tua berwarna kuning berisi segenggam tanah kering. “Katanya oleh-oleh, tapi saya enggak berani buka,” ucapnya.
Hutan Sumatra menyimpan banyak cerita, tapi kisah Bang Jerry menjadi pengingat bahwa manusia bukan satu-satunya penghuni bumi ini. Kadang, niat membuktikan diri bisa justru menjerumuskan seseorang ke dunia yang tak seharusnya ia datangi.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.