Di tengah hiruk-pikuk pasar Cirebon, ada seorang pedagang ikan pindang yang dikenal dengan kecantikannya. Dagangannya selalu habis sebelum siang, sementara pedagang lain masih sibuk menunggu pembeli. Orang-orang hanya berkomentar ringan, “Wajar saja, cantik begini siapa yang enggak mau beli.” Tapi di balik senyum manis dan dagangan yang laris, Mbak Ana menyimpan rahasia gelap yang bahkan suaminya tak tahu bahwa ia memelihara tuyul pesugihan.
Kisah ini terungkap lewat pengakuan spiritual dari Kang Oman, orang yang dimintai tolong oleh Mbak Ana untuk memutus perjanjian dengan makhluk halus setelah delapan tahun terikat dalam kontrak gaib.
Mbak Ana dulunya hanya gadis SMA biasa, cantik dan cerdas, tapi hidup pas-pasan. Setelah menikah, harapannya punya kehidupan lebih baik pupus karena suami yang sederhana dan ekonomi yang pas-pasan. Di sisi lain, teman-teman seangkatannya sukses dan kaya raya. Rasa iri tumbuh, berubah menjadi ambisi. “Saya ingin kaya seperti mereka, apa pun caranya,” begitu kata Mbak Ana kepada Kang Oman.
Suatu hari, dari obrolan sesama pedagang di pasar, ia mendengar tentang pesugihan di Gunung Serandil, Cilacap, tempat orang mencari kekayaan lewat bantuan makhluk gaib. Dengan niat bulat, ia berangkat ke sana ditemani seorang teman. Setibanya di puncak, mereka menemui Pak Kuncen, juru kunci gunung. Kuncen itu sempat memperingatkan, “Kaya cepat itu gampang, tapi bayarnya mahal.” Namun Ana bersikeras.
Malam Selasa Kliwon, tepat pukul 12, ritual dimulai. Mbak Ana diminta melepas seluruh pakaian dan mandi dengan air bunga. Di ruangan gelap yang hanya diterangi dupa, ia membaca mantra sambil memegang bunga kantil putih. Tak lama, muncul sosok perempuan besar berwajah serupa dirinya namun lebih pucat dan menyeramkan. Dari situ perjanjian dimulai Ana resmi menjadi pengikut tuyul kelas A, makhluk yang bisa menghasilkan uang Rp5–10 juta per hari.
Sepulang dari Serandil, hidup Ana berubah drastis. Tiap pagi, ranjangnya selalu berantakan, seolah ada yang tidur di sana. Tapi di bawah bantal dan kasurnya selalu muncul uang segar dalam jumlah tetap: lima juta rupiah. Awalnya ia kaget, tapi kemudian terbiasa. Setiap kali beres-beres kamar, selalu ada uang baru. “Saya tahu, ini cara tuyul bekerja,” katanya pada Kang Oman.
Dalam waktu dua tahun, ia membeli rumah mewah, perhiasan, bahkan toko sembako. Namun ada aturan aneh yang harus ia patuhi: uang dari tuyul tidak boleh dipakai untuk makanan mewah. Ia hanya boleh makan tempe, kecap, atau kerupuk. “Kalau uang itu dipakai buat daging atau ayam, malamnya tuyul ngamuk,” katanya.
Selama delapan tahun, hidupnya seolah tak tersentuh krisis. Setiap hari minimal Rp5 juta masuk, bahkan terkadang sampai Rp10 juta. Jika dihitung, total hartanya mencapai miliaran. Tapi di balik itu semua, suaminya tak tahu apa pun. Hingga suatu malam, suaminya menemukan kamar yang tak boleh dimasuki selama ini. Di sana ada bunga kantil kering, mainan anak-anak, dan bau amis aneh. Saat ditanya, Ana hanya diam. Besoknya, suaminya menceraikannya. “Saya takut jadi tumbal kamu,” katanya sebelum pergi.
Delapan tahun kemudian, Ana mulai merasa gelisah. Di dekat rumahnya berdiri sebuah musala kecil tempat pengajian. Tiap malam ia mendengar ustaz bicara tentang dosa syirik. Hatinya mulai bergetar. Ia menangis, menyesal, lalu mencari cara untuk memutus perjanjian itu. Dari situlah ia bertemu Kang Oman, yang dikenal bisa membantu orang keluar dari jalan sesat.
Kang Oman awalnya ragu, tapi setuju setelah mendengar pengakuannya. Ana bercerita bahwa bunga kantil yang dulu diberikan juru kunci awalnya berjumlah 15 tangkai. Tiap tahun, satu bunga hilang tanda bahwa umur kontraknya berkurang satu tahun. Kini hanya tersisa tujuh bunga, berarti tujuh tahun lagi ia akan mati.
Bersama Kang Oman, mereka pergi kembali ke Gunung Serandil. Di sana mereka bertemu kuncen lama yang menolak membantu. “Kamu sudah kontrak, tak bisa dibatalkan,” kata sang kuncen. Bahkan mereka sempat berhadapan langsung dengan induk tuyul, sosok menyeramkan dengan tangan panjang menjuntai hingga lutut. Makhluk itu berkata, “Anakku sudah menghasilkan. Dia tak boleh kau ambil.”
Akhirnya Kang Oman hanya bisa berdoa. Dalam perjalanan pulang, mereka merasa seperti dilempari dan ditendang tak kasat mata. Tapi Ana tetap ingin melanjutkan niat tobatnya.
Setibanya di Cirebon, Kamis malam Jumat, Ana membawa uang hasil pesugihan dan bunga sisa ke rumah Kang Oman untuk dimusnahkan. Di musala kecil tempat ritual dilakukan, uang itu tiba-tiba hilang lenyap, sementara bunga-bunga mengeluarkan bau busuk seperti daging busuk bercampur minyak.
Saat membaca dzikir, tubuh Ana menggigil keras, muntah bunga dan cairan hitam. Ia menangis, memohon ampun, dan bersyahadat. Setelah itu, ia merasa lega. “Kang, dada saya ringan, saya sudah bebas,” katanya sambil tersenyum.
Tapi ancaman makhluk gaib ternyata nyata. Malam berikutnya, sekitar pukul 12, Ana mengalami kecelakaan di daerah Kangenan dan meninggal di tempat. Uang yang ia simpan di rumah dan musala berjumlah miliaran hilang tanpa jejak.
Ketika keluarganya membuka dus tempat penyimpanan uang itu, yang tersisa hanyalah serutan kayu dan daun kering.
Hingga kini, warga pasar hanya mengenang Ana sebagai “pedagang pindang cantik yang dagangannya selalu laris.” Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum dan kesuksesannya, ia hidup bersama tuyul gaib yang menukar kekayaan dengan nyawa.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.