Tahun 2019, Mbak Tia kehilangan pekerjaannya di kedai minuman cappuccino yang sepi pelanggan. Setelah dua bulan menganggur, ia mendapat kabar dari teman lamanya, Dewi, yang menawarkan lowongan kerja di sebuah warung pecel lele dan ayam goreng yang sangat ramai di Cirebon.
“Gajinya memang cuma dua juta, tapi tempatnya ramai banget. Kadang tutup jam sebelas malam, tapi pembeli masih antre,” cerita Mbak Tia.
Ia pun diterima kerja keesokan harinya. Warung itu dikelola sepasang suami istri. Pemilik perempuan yang dipanggil “Bu Bos” dikenal ramah, perhatian, dan suka memberi makanan gratis kepada karyawannya. “Awalnya saya merasa senang, karena Bu Bos kelihatan baik. Kami sering dikasih makan, dibungkusin lauk buat keluarga di rumah,” ujarnya.
Namun dari situ, perlahan keanehan dimulai. Malam Jumat, ketika sedang mengantarkan makanan ke pelanggan, Mbak Tia melihat pintu ruangan belakang warung tidak tertutup rapat. Padahal, ruangan itu selalu dikunci dan tak boleh dimasuki siapa pun.
“Rasa penasaran saya besar. Saya ngintip sedikit, dan langsung merinding. Di dalamnya banyak sesajen ayam bekakak utuh, kopi hitam, air putih, bunga tujuh rupa, dan dupa yang masih mengepul,” katanya.
Sejak malam itu, ia mulai curiga bahwa makanan yang disajikan untuk pelanggan berasal dari sisa sesajen ritual. Dugaan itu terbukti keesokan harinya ketika menu yang dilihatnya semalam di ruangan ritual disajikan di meja makan karyawan.
“Bu Bos bilang, ‘Ini buat kalian makan. Sayang kalau mubazir.’ Saya langsung mual. Saya tahu itu makanan dari sesajen semalam,” kenang Mbak Tia.
Meski ketakutan, ia tetap membawa makanan pulang agar tidak dicurigai. “Saya buang diam-diam di rumah,” katanya. Namun sejak saat itu, adik laki-lakinya jatuh sakit misterius sering mengigau, berjalan sambil tidur, bahkan tidur di teras tetangga tanpa sadar.
Ketika diperiksa ke puskesmas, hasilnya nihil. Tak ada penyakit apa pun. “Dokter bilang kecapekan. Tapi tiap malam adik saya teriak-teriak,” ujarnya.
Karena merasa takut, Mbak Tia meminta bantuan seorang guru spiritual di Majalengka, yang ia panggil Abah. Abah memberinya air doa untuk diminum dan dibasuhkan ke wajah. Namun setelah itu, justru matanya terbuka terhadap dunia gaib.
“Pas saya balik kerja, saya lihat pocong berdiri di depan warung. Mukanya pucat, giginya nyeringai, dan dia ngeludahin meja pelanggan,” katanya dengan nada bergetar.
Awalnya ia pikir itu halusinasi. Tapi ketika melihat lendir kental seperti air liur menetes ke sambal dan ayam yang sedang dihidangkan, ia yakin yang dilihatnya nyata.
“Saya lihat sendiri. Pocongnya kayak sengaja ngeludahin makanan di piring pelanggan. Bahkan sambalnya pun ditetesin lendir itu,” ucapnya.
Setiap kali pelanggan bilang sambalnya enak, tubuh Mbak Tia merinding. “Saya jadi mikir, jangan-jangan itu karena ludah pocong,” katanya.
Sejak malam itu, Mbak Tia tak bisa makan atau minum di warung. Ia bekerja sambil ketakutan, tapi tak berani bercerita pada rekan-rekannya karena takut dianggap gila.
Gangguan tak berhenti di situ. Saat bertugas di kasir, ia menemukan buntelan kain kecil di dalam laci tempat menyimpan uang. Karena penasaran, ia buka. Di dalamnya ada potongan tali pocong.
“Saya langsung kaget. Itu tali pocong yang masih basah, warnanya kekuningan. Di situ saya sadar, ini warung pesugihan.”
Ia kembali ke Majalengka untuk meminta bantuan Abah. Sang Abah menegaskan bahwa warung tempat Mbak Tia bekerja memang menggunakan pesugihan pocong penglaris. “Bos kamu itu pakai tumbal. Kalau kamu gak keluar, nanti kamu yang digantiin,” pesan Abah.
Namun Mbak Tia masih ragu untuk berhenti. Ia butuh uang untuk membantu keluarganya. “Saya pikir, asal saya gak ikut ritualnya, saya aman,” katanya. Tapi teror makin parah.
Lampu kamar mandi sering padam sendiri, panci jatuh tanpa sebab, dan tubuhnya sering seperti didorong ke penggorengan.
Sampai akhirnya ia jatuh sakit parah kedua kakinya bengkak, seperti terkena tusukan jarum dari dalam. “Saya gak bisa jalan. Rasanya seperti ditusuk-tusuk dari tulang,” katanya.
Keluarganya membawa Mbak Tia ke rumah sakit. Empat dokter memeriksanya spesialis saraf, gizi, dan penyakit dalam namun semuanya tak menemukan penyebab medis. “Dokter bilang saya cuma kurang gizi. Tapi tubuh saya keras kayak kayu,” katanya.
Di sisi lain, kabar mengejutkan datang dari warung. Pemilik warung, Bu Bos, jatuh sakit misterius di waktu yang sama. Dalam seminggu, ia meninggal dunia dengan diagnosis medis “komplikasi.” Namun Mbak Tia yakin, pesugihan itu berbalik arah.
“Abah bilang, saya dijadikan tumbal. Pocongnya mau jadikan saya pendampingnya. Tapi karena saya sudah ditolong doa, akhirnya majikan saya yang kena balasannya.”
Setelah kejadian itu, warung pecel lele tersebut tutup total. Anak dan suami pemiliknya tak mampu melanjutkan usaha itu, dan warga sekitar percaya, penglarisnya ikut hilang bersama majikannya.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.