Pada tahun 2020, seorang ustadz di Majalengka bernama Gus Mukhtar kedatangan tamu dengan wajah yang tak biasa. Raut wajah keduanya suami istri bernama Pak Wawan dan Bu Ati pucat, lelah, dan tampak seperti orang yang sedang bersembunyi dari sesuatu yang tidak terlihat. Mereka mengetuk pintu rumah Gus Mukhtar sambil membawa beban yang jauh lebih berat dibandingkan masalah ekonomi. Mereka membawa takut, penyesalan, dan makhluk yang selama lima tahun terakhir menjadi sumber hidup sekaligus sumber teror bagi keluarga mereka.
Pak Wawan dulu adalah pengusaha sukses. Ia memiliki beberapa pabrik kecil tahu dan tempe yang menghasilkan ratusan juta rupiah. Namun kesuksesan berubah menjadi kesesatan ketika ia terjerumus pada gaya hidup foya-foya, mabuk, judi, dan hiburan malam. Usaha yang semula berkembang perlahan-lahan runtuh. Alih-alih kembali pada Tuhan saat hidupnya terpuruk, ia justru mencari cara tercepat untuk bangkit, tanpa peduli bahwa jalan itu akan mengubur akal sehat dan imannya.
Dari bisikan ke bisikan, ia mendengar sampai pada sebuah nama: Mbah, seorang paranormal yang dipercaya mampu menghubungkan manusia dengan pesugihan kelas tinggi. Dalam keadaan gelap hati, ia berangkat seorang diri tanpa restu penuh, hanya terpaksa diizinkan oleh istrinya, karena ekonomi keluarga telah benar-benar mati. Di tempat itulah kehidupan Wawan berubah. Ia menjalani ritual di ruangan gelap dengan cahaya minim, menahan lapar dan haus selama tiga malam. Pada malam ketiga, ia diberikan tiga ikat bulu misterius benda inti pesugihan yang akan menjadi penghubung menuju “Bank Ghaib”.
Ketika pulang, ia dilarang melakukan ibadah apa pun. Tidak boleh salat, tidak boleh menyentuh Qur’an, bahkan tidak boleh sekadar mengucap kalimat-kalimat zikir yang ia hafal sejak kecil. Mbah mengatakan bahwa makhluk yang akan datang akan marah jika ia melakukan hal-hal yang mendekatkannya pada Tuhan. Dalam gelap malam beberapa hari setelah ritual, suara ketukan terdengar. Saat pintu dibuka, berdirilah makhluk itu: sosok tinggi, penuh bulu, bertaring, bermata besar, dan berwajah mengerikan, jauh dari gambaran manusia. Ia memperkenalkan diri sebagai pemberi rezeki dan penagih tumbal.
Makhluk itu memberi syarat sederhana tetapi mematikan: dua tumbal manusia setiap tahun. Wawan, yang sudah gelap mata, menyanggupi tanpa berpikir panjang. Maka sejak hari itu, setiap kali makhluk itu datang, ia menaruh tiga ikat bulu di dalam kotak, dan ketika makhluk menghilang, kotak itu penuh dengan uang. Terkadang lima puluh ribu, terkadang seratus ribu, terkadang gepokan. Wawan menyimpan uang itu untuk mengembalikan bisnisnya dan benar saja, dalam beberapa bulan ia kembali kaya raya. Pabrik tahu dan tempe berdiri lagi, bahkan lebih besar dari sebelumnya.
Namun keserakahan makhluk ghaib tidak pernah berhenti pada satu kesepakatan. Ia selalu menuntut lebih. Tumbal demi tumbal jatuh, bukan hanya orang luar tetapi juga kerabat orang-orang yang mengenal Wawan, yang suatu hari hilang atau meninggal secara aneh. Setiap kali memberikan tumbal, Wawan hidup beberapa bulan dalam kenyamanan semu, lalu teror itu kembali datang dalam mimpi, dalam suara ketukan, atau dalam bayangan gelap yang berdiri di sudut rumah. Istrinya ikut dihantui. Anak-anaknya sering sakit tanpa sebab. Rumah mereka seperti tempat pengasingan bagi makhluk-makhluk dunia lain.
Setelah lima tahun hidup sebagai “nasabah Bank Ghaib”, sesuatu dalam diri Wawan pecah. Ia mendapatkan hidayah untuk bertobat, tetapi dalam waktu bersamaan, makhluk itu mulai menagih tumbal lebih cepat dan lebih agresif. Malam-malamnya menjadi penuh jeritan batin. Dalam keadaan seperti itu, ia mencari pertolongan ke berbagai tempat hingga akhirnya ia mendengar nama Gus Mukhtar Mukhtar dari Majalengka, ustadz yang dikenal mampu memutus perjanjian gelap.
Saat tiba di rumah Gus Mukhtar, Wawan hanya menanyakan satu hal: “Apakah masih ada kesempatan bagi orang yang berdosa sebesar saya untuk dimaafkan Allah?” Gus Mukhtar tersenyum, mengatakan bahwa sebesar apa pun dosa manusia, pintu taubat tetap terbuka. Hanya saja, memutus perjanjian pesugihan tidak semudah memutus tali biasa. Yang dihadapi bukan hanya psikologi manusia, tetapi makhluk ghaib yang rakus dan zalim.
Wawan diminta tinggal di Majalengka selama beberapa minggu, ikut zikir istighasah setiap malam Jumat. Pada istighasah pertama, terjadi kejadian di luar dugaan. Ketika zikir hampir selesai, Wawan tiba-tiba berteriak, berguling-guling, dan menjerit seolah sedang ditarik sesuatu ke dalam lautan. Ia berteriak “Jangan ambil anak saya! Jangan ambil istri saya!” sambil tubuhnya memutar seperti roda. Setelah disadarkan oleh Gus Mukhtar, ia mengatakan bahwa ia melihat makhluk-makhluk berbulu menenggelamkan keluarga kecilnya satu per satu.
Malam Jumat berikutnya keadaannya lebih parah. Malam ketiga sama saja. Maka Gus Mukhtar memutuskan malam keempat dilakukan tanpa Wawan, hanya ia sendiri yang akan menghadapi makhluk itu secara langsung. Setelah salat tobat dan salat hajat, Gus Mukhtar mulai membaca lafaẓ Hasbunallah, kemudian la haula wala quwwata illa billah. Ketika bacaan mencapai tengah, terdengar suara hantaman keras dari pintu majelis, seperti batu raksasa dilempar dari luar. Lalu terdengar suara pintu terbuka, meski pintu itu tidak bergerak sedikit pun.
Dari balik dinding dan pintu, makhluk itu muncul. Tingginya melampaui plafon. Bulu hitam tebal menutupi seluruh tubuhnya. Matanya besar dan merah. Giginya keluar. Dan ia tidak datang sendirian; beberapa makhluk serupa melingkari Gus Mukhtar. Dengan suara bergemuruh, makhluk itu berkata, “Saya yang punya orang itu. Kalau kamu mau membantu dia, kamu harus berhadapan dengan saya.”
Makhluk itu lalu menarik sesuatu dari balik tembok. Ketika tangannya kembali, ia memegang leher istri Gus Mukhtar, memutarnya seperti boneka, memainkannya sambil meniru suara teriakan kesakitan. Kemudian ia menarik anak Gus Mukhtar yang masih balita, memutar tubuh kecil itu sambil tertawa. Itu bukan kejadian fisik, tetapi penampakan ghaib yang ingin menghancurkan mental Gus Mukhtar, membuatnya takut dan menyerah. Namun Gus Mukhtar membalas dengan satu kalimat penuh keyakinan: “Yang punya hidup dan mati bukan kamu. Tapi Allah.”
Setelah lima menit penuh teror, makhluk itu menghilang. Majelis kembali sunyi. Gus Mukhtar menyelesaikan doa, lalu pulang memastikan bahwa istri dan anaknya baik-baik saja. Keesokan paginya, Wawan datang dan mengaku bahwa makhluk itu juga mendatanginya semalam, memaksa memperpanjang perjanjian. Tetapi ia melawan dengan zikir sebagaimana diajarkan oleh Gus Mukhtar.
Pertanda pemutusan berhasil muncul ketika Gus Mukhtar membuka kotak hitam berisi uang pesugihan yang dititipkan Wawan. Seluruh uang itu hilang tanpa sisa lenyap seketika. Tidak berubah, tidak terbakar, hanya hilang. Menurut Gus Mukhtar, hilangnya uang adalah tanda bahwa hubungan pesugihan telah putus dan makhluk itu tidak lagi memiliki akses ke rumah mereka.
Tiga tahun berlalu setelah pemutusan itu. Kehidupan Wawan kembali normal. Ia membuka usaha lagi, beribadah kembali, dan hidup tanpa lagi didatangi makhluk ghaib. Yang paling mengejutkan, ekonominya justru stabil meski tanpa pesugihan. Ia benar-benar hidup sebagai manusia merdeka setelah lima tahun menjadi budak kekuatan gelap.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa pesugihan apa pun bentuknya, termasuk Bank Ghaib Buto Ijo selalu menawarkan dua hal: harta cepat dan kehancuran lambat. Setiap rupiah yang diberikan makhluk itu sebenarnya dibeli dengan ketenangan, iman, dan nyawa manusia. Ketika tumbal sudah mulai mengenai keluarga sendiri, barulah manusia sadar bahwa semua kesenangan dunia itu hanyalah jerat yang membuat mereka terikat seumur hidup.
Gus Mukhtar Mukhtar menutup kisahnya dengan pesan sederhana namun dalam: “Di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Mendekatlah kepada Allah, bukan kepada makhluk. Karena makhluk memberi untuk mengambil, tapi Tuhan memberi untuk menyelamatkan.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.