Di dunia sopir truk, bulan Sura adalah masa yang tak pernah dianggap main-main. Banyak sopir menghindari perjalanan jauh, sebagian mengurangi tarikan, dan sisanya menjalankan ritual keselamatan turun-temurun. Tetapi bagi Mas John, seorang sopir senior yang sudah puluhan tahun melintasi Jawa, bulan Sura tahun 2010 adalah tahun terkelam, tahun ketika ia dan kernetnya, Jibul, berhadapan langsung dengan dunia ghaib, hingga menabrak makhluk tak terlihat dan memasuki warung yang sebenarnya hanyalah… pohon besar.
Semuanya bermula dari kesibukan luar biasa. Perusahaannya mendapat kontrak besar memindahkan ribuan ton pupuk dari Cigading ke berbagai daerah. Armada sampai kekurangan truk, sehingga bos membeli 15 unit truk baru sekaligus. Dalam tradisi sopir, setiap kendaraan baru harus di-ruat: dicuci dengan air keramat dari tujuh sumur, diberi “pecah telur”, lalu didoakan agar tidak celaka. Namun karena sibuk, Mas John melewatkan ritual itu sebuah kelalaian yang kemudian ia sesali seumur hidup.
Perjalanan pertama berjalan mulus, tetapi perjalanan kedua mulai memberikan tanda-tanda. Mas John bermimpi ia dan Jibul mengalami kecelakaan parah. Dalam mimpi itu, tubuh Jibul hancur, kedua kakinya putus. Ketika bangun, ia menemukan Jibul baik-baik saja, tetapi firasat buruk itu melekat sepanjang hari.
Dalam perjalanan menuju Cigading berikutnya, rasa kantuk menyerangnya. Ia menyerahkan kemudi kepada Jibul. Di sebuah titik sepi antara Ciasem dan Subang, truk berhenti untuk makan. Di sinilah awal serangkaian kejadian aneh yang tidak dapat dijelaskan oleh logika modern.
Saat tengah malam di tol Cibitung, ban truk mereka kempes dua sekaligus. Mas John turun mengganti ban, sementara Jibul membuka baut roda sambil bersiul, tanpa menyadari apa yang sedang duduk tak jauh dari mereka seorang wanita berambut panjang, punggung bolong, wajah hancur seperti sundel bolong yang duduk di bawah pohon mahoni besar. Ia tidak bergerak, hanya menatap tanah. Mas John menahan napas, sementara Jibul yang tidak peka tetap santai, bahkan bernyanyi kecil.
Setelah pekerjaan selesai, mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi pagi harinya, sebuah kejadian yang jauh lebih mengerikan terjadi. Ketika memasuki jalur yang sepi, Mas John melihat sosok tinggi besar, memakai sarung lusuh dan kemeja putih, rambut ikal kusut. Sosok itu melayang menyeberang jalan tanpa jejak kaki. Mas John berusaha mengerem, tetapi sosok itu langsung tertabrak.
Atau setidaknya… seperti tertabrak.
Tidak ada suara benturan. Tidak ada getaran. Tidak ada apa pun. Truk hanya berbelok sendiri, meluncur ke kiri, lalu terjun ke parit sedalam dua meter. Saat keluar dari kabin, Mas John mencari tubuh orang itutetapi jalanan kosong. Tidak ada siapa pun. Tidak ada darah. Tidak ada barang jatuh. Tidak ada tanda manusia sama sekali.
“Berarti itu bukan orang…” gumamnya gemetar.
Truk rusak parah. Bosnya marah besar. Mas John kena klaim jutaan rupiah. Sejak hari itu, ia sadar bahwa kelalaiannya tidak meruat truk baru telah mengundang sesuatu yang berbahaya.
Namun kejadian paling mencekam bukanlah kecelakaan itu melainkan pengalaman Jibul saat ia masuk ke “warung” yang sebenarnya bukan warung.
Beberapa hari sebelum kecelakaan, Jibul pernah bercerita tentang sebuah warung murah meriah dengan pelayan cantik. Ia bahkan pernah… tidur bersama perempuan itu ketika berangkat dengan sopir lain. Semuanya terlihat normal: rumah sederhana, nenek penjaga dapur, dan kakek pemilik warung. Tetapi ketika ia datang lagi bersama Mas John, warung itu sudah tidak ada. Hanya ada gelap dan sawah kosong. Tidak ada bangunan sedikit pun.
Namun malam setelah kecelakaan hampir terjadi, Jibul tanpa sadar kembali melihat warung itu. Ia turun dari truk, masuk ke rumah, dan disambut perempuan yang sama. Tetapi perempuan itu kini menutupi wajah dengan rambut, dan suaranya berubah seperti orang menahan tangis. Ketika Jibul mencoba menggoda seperti dulu, wujud perempuan itu mulai berubah kulitnya pucat abu-abu, tubuhnya berlubang, rambutnya kusut seperti kawat, dan matanya cekung menghitam.
Kakek yang dulu ramah keluar dari kamar dengan wujud rusak: muka pecah, mata keluar, mulut terbalik, dan giginya menonjol ke luar sambil mengeluarkan suara cekikikan panjang. Neneknya berubah menjadi makhluk berambut gosong seperti kawat sambil membawa kopi panas yang berbau busuk.
Ketakutan, Jibul berlari pulang ke truk. Tapi ketika ia menoleh kembali, warung itu hilang. Digantikan pohon besar yang berdiri sunyi di tengah gelap.
Ia baru sadar bahwa selama ini ia telah masuk ke dalam rumah jin, bukan warung manusia.
Mas John marah padanya, tetapi lebih marah pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa jalanan bulan Sura memang penuh jebakan makhluk halus, namun kemalangannya diperkuat dengan kelalaiannya sendiri yang mengabaikan ritual ruwatan truk baru sebuah tradisi yang bukan sekadar mitos, melainkan penjagaan spiritual warisan leluhur sopir Nusantara.
Setelah truk selesai diperbaiki, ayah Mas John menegurnya dengan keras dan menyuruhnya menjalankan ritual lengkap: mengambil air dari Jagabayan, sumur Kejayaan, sumur Langgar Ageng, sumur Witana, sumur Bandung, sumur Penganten, hingga Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Air tujuh sumur, bunga, telur sebagai pecah telur semuanya dilakukan sesuai adat.
Setelah truk dimandikan dengan air keramat dan didoakan, kejadian aneh berhenti total. Tidak ada lagi penampakan, tidak ada suara rintihan, tidak ada warung jin yang muncul. Truk kembali normal, dan perjalanan kembali aman.
Bagi Mas John, kisah itu menjadi bukti bahwa dunia sopir bukan hanya soal mesin, muatan, dan jalan raya. Ada dunia lain yang ikut mengawasi, terutama di bulan-bulan yang dianggap wingit. Tradisi ruatan bukan sekadar simbol, melainkan bentuk perlindungan yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebelum manusia modern menyebutnya takhayul.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.