Pada akhir 1990-an, hidup Kang Faiz berada di titik paling gelap. Setelah menikah muda dan hidup sebagai buruh serabutan, ia menghabiskan hari-harinya dengan cangkul di tangan dan harapan tipis di dada. Penghasilannya tidak cukup untuk membiayai dapur, apalagi menata masa depan istri dan anaknya. Ia pernah bekerja apa sajanyangkul, merakit kayu bakar, hingga mengurus kebun orang. Namun derita tetap berkepanjangan. Ia merasa hidupnya seperti tanah basah: diinjak, namun tidak pernah mengeras menjadi sesuatu yang kokoh.
Pada tahun 1999, krisis moneter semakin memukul hidupnya. Melihat teman-temannya sukses datang dari kota, Kang Faiz ingin ikut bangkit. Ia mengutarakan hasratnya kepada mertua. Dengan penuh iba, sang mertua memberikan modal Rp350.000 jumlah kecil, tetapi bagi Kang Faiz bagaikan pintu menuju dunia baru. Dengan uang itu ia merantau ke Jakarta dan membuka lapak kecil di samping showroom Toyota. Ia menjual kopi, Indomie, bubur kacang hijau, apa saja yang bisa ditukar jadi uang.
Tiga bulan pertama, dagangannya sukses. Omzet stabil, harapan mulai tumbuh. Ia dan istrinya tidur berdua di balik gerobak tua, ditutupi terpal, namun mereka bahagia. Sayangnya, ketika persaingan usaha semakin ketat di tahun 2001, pendapatannya merosot. Tidak ada lagi uang tersisa. Tiga tahun kerja keras di Jakarta berakhir dengan tangan kosong. Ia pulang kampung dalam keadaan hampa.
Di kampung, ia bekerja kembali sebagai kuli cangkul. Namun rasa malu dan putus asa menekan batinnya. Ia merasa hidupnya stagnan, sementara rezeki orang lain mengalir deras. Pada tahun 2005, ia memberanikan diri bertanya kepada kakaknya: adakah jalan instan untuk mengubah nasib? Kakaknya awalnya menolak, tetapi akhirnya mengaku mengenal seseorang yang bisa “membantu”. Di sinilah perjalanan mistis Kang Faiz dimulai.
Ia dibawa ke kaki Gunung Ciremai, ke rumah seorang juru kunci bernama Pak Subuh. Rumah itu besar seperti keraton, tak seperti bangunan desa biasa. Di depan pintu, Kang Faiz dilarang mengucap salam. Di dalam rumah, aroma menyan bercampur wangi sedap malam. Ketika dibawa ke lantai atas, ia melihat puluhan orang terbaring seperti pasien ritual. Saat Pak Subuh memegang pelipisnya, kesadarannya langsung padam.
Ketika “bangun”, ia sudah berada di dunia lain. Sebuah tempat asing gelap, tetapi berangsur terang. Di dalam dunia itu, makhluk-makhluk gaib satu per satu muncul di hadapannya. Pertama datang tiga tuyul: dua kecil, satu besar, hanya memakai cawat. Mereka menatapnya tanpa suara. Kemudian muncul pocong setengah membusuk, keluar belatung, berdiri sambil memandang kosong. Baru beberapa menit berlalu ketika dari sisi kanan, datang makhluk ketiga: putri cantik yang tubuhnya setengah ular.
Putri ular itu menatap Kang Faiz sedalam-dalamnya, seolah ingin menariknya masuk ke dalam pesona gaib. Dalam batin Kang Faiz muncul dorongan aneh, tetapi hatinya serentak berteriak: istigfar. Begitu ia beristigfar, tubuhnya seperti ditarik keluar dan ia kembali terbangun di ranjang ritual, tubuh lemas seperti habis ditarik dari liang kubur.
Pak Subuh datang dan justru menawarkan sesuatu yang membuat darahnya membeku. “Kalau mau cepat kaya, tinggal ambil salah satu,” katanya. Tuyul besar untuk pesugihan pasar, tuyul kecil untuk membawa keberuntungan bagi istri, pocong untuk pesugihan keras, dan putri ular—yang paling “mahal” untuk kekayaan kilat dengan syarat tumbal. Sang juru kunci berkata, “Tinggal pilih. Sebulan kamu sudah jadi orang kaya.”
Kang Faiz gemetar. Ia tidak menyangka pesugihan seperti itu nyata. Ia mengira hanya membaca doa atau tirakat ringan seperti “syariat jualan”. Tetapi di hadapannya, pesugihan itu meminta bagian paling gelap dari manusia—tumbal nyawa. Ia segera turun dari lantai dua, menemui kakaknya, dan meminta pulang tanpa menjelaskan apa pun. Malam itu ia tidak tidur, tubuhnya masih goyah oleh ketakutan.
Keesokan harinya, barulah ia bercerita kepada istri. “Mah, itu tempat pesugihan beneran. Ada tumbalnya,” katanya sambil menangis. Istrinya memeluknya dan berkata bahwa rezeki tidak boleh dicari lewat jalan yang mengorbankan orang lain. Ia kemudian menceritakan semuanya kepada kakaknya, dan kakaknya hanya berkata, “Makanya jangan instan. Sabar.”
Namun nasib Kang Faiz berubah justru setelah ia pergi ke tempat lain—bukan pesugihan, melainkan makam keramat. RT di kampung mengajaknya ziarah ke makam Raden Arya Kemuning selama tiga malam. Malam pertama mereka disambut angin dingin dan hujan yang turun tiba-tiba. Aroma wangi menyeruak, berbeda dari bau menyan pesugihan. Malam kedua, suara-suara aneh muncul dari berbagai arah—tangis, cekikan, hingga teriakan kunti yang menggema. Tetapi Kang Faiz bertahan karena tujuannya bukan pesugihan, melainkan mencari jalan yang diridai.
Malam ketiga, malam Jumat Kliwon, ia membawa semua persyaratan: kopi pahit, kopi manis, teh, air putih, dan kembang. Ketika Pak RT mulai membaca hadoroh, angin kembali berputar liar. Namun kali ini cahaya kuning seperti sinar matahari muncul dari tanah, mengelilingi makam. Dalam cahaya itu, muncul seorang pangeran tampan memakai baju kerajaan dan mahkota putih. Ia tersenyum kepada Kang Faiz selama beberapa detik sebelum menghilang bersama cahaya.
Malam itu juga, ketika tidur, Kang Faiz bermimpi bertemu seorang lelaki tua berjenggot putih yang berkata, “Sabar ya, anak. Rezekimu sebentar lagi datang.” Dan benar saja. Dalam hitungan hari, pekerjaan datang bertubi-tubi. Ia mendapat panggilan kerja di sawah, di kebun, di proyek, tanpa ia mencari. Satu tahun penuh ia tidak pernah kekurangan pekerjaan. Dari jerih payah itu, ia menabung Rp550.000 uang yang benar-benar halal dan berkah.
Uang itu ia gunakan untuk kembali ke Jakarta. Ia membuka lapak baru di pinggir kampus, dan seperti keajaiban, dagangannya langsung ramai. Tanpa pesugihan, tanpa tumbal, warungnya berkembang pesat. Ia membuka lima cabang: warung kopi, Indomie, rokok, bahkan warung nasi. Semua berjalan lancar sampai bertahun-tahun.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.