Kisah Kang Ujang bermula di tahun 2008, saat hidupnya terhempas ke titik paling rendah. Dulu ia bekerja serabutan jadi kuli, jadi supir angkot, ikut proyek bangunan, apa saja yang bisa memberi uang walau sedikit. Setelah menikah dan istrinya hamil anak pertama, hidup justru semakin berat. Pada saat-saat itu, ia berhenti dari pekerjaan lamanya dan memilih menganggur karena tidak lagi punya tempat untuk bergantung. Beban rumah kontrakan, istri hamil, dan dapur yang harus tetap mengepul membuat kepalanya serasa pecah setiap hari.
Lalu datanglah sebuah peluang. Temannya menawarkan gerobak pecel lele untuk dikelola tanpa setoran, hanya tinggal dijalankan. Dengan modal seadanya, ia dan istrinya mulai berjualan. Tidak disangka, rezeki benar-benar datang. Dalam tiga bulan pertama, warung pecel lelenya selalu ramai. Ia bisa menjual 10 ekor ayam, 10 ekor bebek, dan puluhan lele setiap hari. Pendapatan bersihnya mencapai Rp500 ribu sampai Rp1 juta per hari. Bagi orang yang pernah hidup tanpa uang sepeser pun, ini terasa seperti keajaiban.
Namun keajaiban itu tidak bertahan lama. Dalam enam bulan, satu per satu warung baru bermunculan di kiri dan kanan lapaknya. Mereka menjual menu yang samalele, ayam, seafood. Persaingan menghantamnya keras. Pengunjung mulai pindah. Pendapatan turun drastis. Dalam satu hari ia hanya menjual dua ekor ayam. Uang habis, semangat habis, harapan pun ikut padam. Di tengah rasa putus asa itu, istrinya yang sedang hamil berkata: “Ayo kita ikhtiar ke aki.”
Sang aki adalah seorang kuncen Gunung Tua di Subang. Kang Ujang, dalam kondisi mental paling rapuh, menerima ajakan itu. Ia berharap dagangannya kembali ramai, bukan ingin kaya mendadak. Ia bahkan menjual apa pun yang tersisa dan membawa Rp2 juta untuk membeli sesajen seperti yang diminta sang aki: buah-buahan terbaik, kembang tujuh rupa, ayam putih, rokok Upang dan serutu hitam benda-benda ritual yang tidak ada hubungannya dengan dunia warung, namun dipercaya sebagai syarat penglaris.
Ketika malam tiba, rombongan kecil itu menyusuri hutan gelap menuju puncak Gunung Tua. Di atas sana, ia disuruh masuk ke sebuah saung kecil berpagar bambu. Di dalamnya hanya ada tanah, angin gelap, dan dirinya sendiri. Ia dikunci dari luar. Aki memberinya pesan: “Tidak perlu puasa. Tidak perlu takut. Yang penting berani.” Maka dimulailah malam pertamanya, dari magrib hingga subuh, ditemani suara burung misterius, bau wangi berubah menjadi amis, kelelawar bergerombol, dan geraman babi hutan yang lewat tepat di depan mata.
Malam kedua lebih berat. Ketika bulan tertutup awan, gelap tiba-tiba menebal seperti kabut hitam pekat. Bau kembang berubah menjadi bau hanyir. Suara bambu dipukul muncul entah dari mana. Kelelawar berputar di atas kepalanya seperti lingkaran setan, dan arah angin berganti tanpa pohon bergoyang. Ia tetap diam, berusaha menenangkan diri. Sang aki memperingatkan bahwa suara-suara itu normal.
Namun malam ketiga adalah puncaknya. Saat jam mendekati tengah malam, angin besar memenuhi gubuk itu meski daun-daun di luar tak bergerak. Suara langkah besar—seperti kaki raksasa—muncul di depan pintu. Lalu muncul bayangan putih tinggi besar. Tak lama kemudian sosok perempuan berambut panjang mengenakan baju hijau dan selendang biru berdiri di sudut saung, menatapnya tanpa ekspresi. Di belakangnya muncul pula siluet pocong, jubah putih, dan bayangan hitam besar yang mengelilingi tempat itu.
Kang Ujang gemetar hebat, tapi tidak boleh lari. Ia merasa ada sesuatu menepuk pundaknya dari belakang sambil berkata lirih: “Kang Ujang… sabar. Titipan ti Nyai.” Ketika ia menoleh, tidak ada siapa pun. Hanya angin dingin menusuk tulang. Saat ia menceritakan semuanya kepada sang aki, sang kuncen berkata bahwa perempuan berbaju hijau itu adalah leluhur yang “memberi titipan” dan agar Kang Ujang menyiapkan ayam putih sebagai syarat. Tetapi ketika sang aki berkata bahwa ritual dengan uang cepat membutuhkan tumbal, Kang Ujang langsung menolak. Ia hanya ingin penglaris, bukan kekayaan instan.
Namun malapetaka sudah terlanjur datang.
Sebulan setelah ritual, saat usia kandungan istrinya masuk 9 bulan, perut istrinya mendadak mules hebat. Mereka mengira saat lahiran sudah tiba. Tetapi yang terjadi di luar nalar: kandungan tiba-tiba kosong. Perut yang tadinya besar kempes seketika. Janin hilang tanpa proses persalinan. Istrinya menangis, bidan terkejut, dan Kang Ujang tidak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya teringat pada “titipan ti Nyai” dan kengerian malam itu di Gunung Tua.
Beberapa bulan kemudian, istrinya hamil lagi. Pada usia 7 bulan, kandungan kembali bermasalah. Setelah dipanggilkan paraji, ditemukan bahwa bayi di dalam perut sudah meninggal. Tubuh bayi sudah membiru, seperti kehilangan napas sejak lama. Tidak ada penyebab medis yang jelas, tidak ada penyakit, tidak ada kecelakaan. Dua kehamilan hilang dalam dua cara yang tidak bisa diterima akal. Dan keduanya terjadi setelah ritual Gunung Tua.
Tragedi itu mengguncang batin Kang Ujang. Ia mulai bertanya-tanya apakah selama tirakat ia telah membuka pintu yang tidak seharusnya dibuka. Apakah “titipan” yang dijanjikan leluhur itu sebenarnya adalah bentuk pesugihan putih yang tetap menagih balasan? Ataukah semuanya hanyalah tipu daya jin yang menyamar sebagai nenek-nenek baik hati?
Yang membuatnya semakin bingung adalah kejadian berikutnya. Ia bertemu seorang lelaki tua misterius di warteg makhluk yang tampak manusia seutuhnya, makan, ngobrol, dan membayar seperti manusia. Lelaki itu mengajaknya pergi ke sebuah rumah di tengah hutan Garut. Rumah itu nyata, terasa kokoh, tidak seperti ilusi. Seorang “emak” di tempat itu berkata bahwa Nyai menitipkan rezeki. Ketika kamar dibuka, sebuah kotak penuh uang pecahan 100 ribuan disodorkan padanya, mencapai sekitar dua miliar rupiah.
Namun sebelum ia membawa pulang uang itu, lelaki tua itu berpesan: “Jangan dipakai dulu. Nanti bulan mulud baru boleh diambil.” Kang Ujang tidak mendengarkan. Ia membawa tas itu pulang. Tetapi hanya berjarak 200–300 meter dari rumah tersebut, tas itu berubah menjadi kosong. Uang menghilang seperti asap. Ketika ia kembali ke lokasi, rumahnya pun hilang, yang tersisa hanya hutan gelap dan pohon raksasa. Lelaki tua itu pun hilang, nomor teleponnya tidak aktif selamanya.
Hidup Kang Ujang remuk. Dua anaknya “diambil”, uang rezeki dari dunia ghaib itu tidak pernah kembali, dan ia terjebak dalam rasa bersalah yang tak pernah selesai. Setelah bertahun-tahun, ia hanya bisa menerima bahwa rezeki bukan datang dari gunung, bukan dari Nyai, dan bukan dari makhluk halus mana pun.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.