Bagi warga sekitar, Bu Haji dikenal sebagai sosok terpandang. Berpakaian rapi, berhijab syar’i, rajin ke pasar, dan memiliki belasan kamar kos yang selalu penuh penghuni. Tak ada yang menyangka, di balik citra religius itu tersimpan praktik ilmu hitam yang mengerikan.
Kisah ini dialami langsung oleh Teh Mita, seorang perempuan yang menikah di usia sangat muda. Pernikahan yang ia harapkan membawa ketenangan justru berubah menjadi rangkaian kekerasan, penelantaran, dan luka batin yang mendalam.
Setelah bercerai dan menjalani masa idah dalam kondisi ekonomi sulit, Teh Mita memutuskan bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah kos milik Bu Haji. Pekerjaan itu tampak sederhana: bersih-bersih dan membantu pekerjaan ringan.
Kos-kosan itu terbilang besar. Hampir lima belas kamar kontrakan selalu terisi. Lingkungannya ramai, berdekatan dengan pasar dan pemukiman warga. Sekilas, tak ada yang aneh dari tempat tersebut.
Namun sejak awal, Bu Haji memberi satu larangan keras: kamar pribadinya di lantai atas tidak boleh dibersihkan kecuali atas perintah langsung. Alasan yang diberikan terdengar biasa—privasi.
Beberapa bulan bekerja, Teh Mita mulai merasakan hal ganjil. Bau busuk menyerupai bangkai kerap muncul, terutama pada malam Jumat Kliwon. Tak jarang, bau amis darah tercium dari arah kamar Bu Haji.
Teror pertama datang dalam bentuk kesurupan. Teh Mita mendengar bisikan asing yang menyuruhnya pergi dari tempat itu. Saat sadar, kamarnya berantakan seperti habis dirusak sesuatu yang tak terlihat.
Penampakan mulai muncul satu per satu. Pocong di kamar mandi, sosok tinggi besar bermata merah, hingga makhluk bertaring yang berdiri di depan kos-kosan. Semua terjadi berulang, seolah ada yang ingin menakut-nakutinya.
Puncaknya terjadi ketika Teh Mita akhirnya diperintah membersihkan kamar Bu Haji. Begitu pintu dibuka, bau amis menyengat langsung menusuk hidung. Di dalam kamar terdapat dupa, bunga, dan keris yang disusun tidak lazim.
Saat mengintip melalui lubang kunci, Teh Mita melihat sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan. Bu Haji jongkok di lantai, lalu kepalanya terlepas dari badan. Organ dalam terlihat menggantung, berlumuran darah—sosok kuyang keluar dari tubuhnya.
Kuyang itu melayang meninggalkan kamar, sementara tubuh Bu Haji kembali seperti semula, seolah tak terjadi apa-apa. Tak lama kemudian, Bu Haji keluar kamar dengan wajah tenang, masih mengenakan kalung berlumur darah segar.
Teror tak berhenti di situ. Pada malam berikutnya, kuyang kembali menampakkan diri di jendela kamar Teh Mita. Matanya merah menyala, bau amis memenuhi udara, membuat tubuh Teh Mita lemas tak berdaya.
Suami barunya mencoba melindungi, bahkan mengejar sosok itu hingga ke arah kuburan. Ia melihat sendiri makhluk tersebut “mengisap” sesuatu dari selokan, memperkuat dugaan bahwa ilmu yang dipakai Bu Haji adalah pesugihan kuyang.
Konsultasi dengan seorang kiai membuka fakta yang lebih mengerikan. Teh Mita disebut hampir dijadikan tumbal. Pernikahan sirinya di masa lalu, kekerasan yang ia alami, hingga penempatannya di kos-kosan itu bukanlah kebetulan.
Menurut kiai tersebut, Bu Haji menjalankan pesugihan demi kekayaan dan kecantikan. Kos-kosan, usaha dagang, dan hartanya bertambah dengan konsekuensi nyawa orang lain sebagai pengganti.
Kiai itu menyarankan satu hal: pergi tanpa perlawanan. Jangan menantang, jangan membongkar, cukup menjauh agar selamat. Pesugihan semacam itu akan mencari pengganti jika targetnya lepas.
Ketika Teh Mita mengajukan izin berhenti bekerja, Bu Haji menolaknya dengan alasan sulit mencari pengganti. Bahkan gaji terakhirnya dipotong, seolah ada upaya menahan agar ia tetap berada di sana.
Namun Teh Mita memilih pergi. Dengan perlindungan doa dan niat kuat, ia meninggalkan kos-kosan tersebut dan memulai hidup baru bersama suami dan anaknya.
Belakangan, ia mendengar usaha kos dan dagang Bu Haji semakin berkembang. Dari luar, segalanya tampak baik-baik saja—namun Teh Mita tahu harga yang dibayar di balik itu sangatlah mahal.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa simbol agama dan gelar suci tak selalu mencerminkan kebenaran hati. Di balik topeng kebaikan, bisa tersembunyi praktik pesugihan yang menjadikan manusia sebagai tumbal. Jalan hitam mungkin membawa kekayaan, tetapi selalu meninggalkan teror dan penderitaan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.