Tidak semua orang ingin tahu masa depan. Bagi sebagian orang, hari esok cukup dijalani dengan harapan. Namun bagi Mas Ridwan, masa depan justru datang lebih dulu, hadir dalam penglihatan yang tak pernah ia minta sepenuhnya.
Sejak menjalani tirakat panjang, Mas Ridwan mulai melihat potongan-potongan peristiwa yang belum terjadi. Gambaran itu datang seperti bayangan gelap: bencana, kerusuhan, perang, dan kehancuran ekonomi. Semakin jelas yang ia lihat, semakin berat pula tubuh dan pikirannya.
Ia menyadari satu hal penting sejak awal: melihat masa depan bukanlah anugerah tanpa harga. Setiap kali ia meminta untuk diperlihatkan, umur seakan terpotong perlahan. Nyeri di kepala, tubuh melemah, dan batin terguncang menjadi konsekuensi yang harus diterima.
Berbeda_toggle masa lalu. Menyaksikan jejak leluhur dan sejarah tidak menggerogoti nyawa. Karena itulah Mas Ridwan lebih sering menelusuri silsilah dan perjalanan leluhurnya, memastikan apa yang ia rasakan selaras dengan kebenaran sejarah.
Dari sanalah ia mengetahui bahwa dirinya berasal dari garis keturunan kerajaan besar—Keraton Yogyakarta dan Pajajaran. Sebuah garis yang menurut gurunya membawa warisan kepekaan batin dan tanggung jawab spiritual yang berat.
Namun Mas Ridwan tak pernah ingin menjadi peramal. Bahkan ia sempat menolak kemampuan itu. Ia lelah melihat dunia runtuh sebelum orang lain menyadarinya. Tapi alam terus berbicara, menghadirkan penglihatan tanpa diminta.
Salah satu gambaran yang paling sering muncul adalah kerusuhan sosial. Mas Ridwan melihat peristiwa besar yang menyerupai tahun 1998, namun menurutnya, apa yang terjadi belakangan hanyalah pembuka dari gelombang yang lebih besar.
Dalam penglihatannya, masyarakat mudah diadu domba. Konflik bukan murni suara rakyat, melainkan digerakkan oleh kepentingan tersembunyi. Ketika kepercayaan runtuh, jalan menuju kekacauan terbuka lebar.
Bersamaan dengan itu, Mas Ridwan melihat mega-korupsi yang terbongkar. Skandal besar yang mengguncang fondasi kekuasaan, mirip dengan peristiwa-peristiwa politik kelam di masa lalu. Plengseran bukan hal mustahil.
Di sisi lain, alam pun menunjukkan amarahnya. Mas Ridwan menyebut fenomena “langit gelap”—letusan beberapa gunung besar, termasuk yang berada di tengah laut. Abu menutup langit, gempa mengguncang daratan, dan wilayah pesisir perlahan tenggelam.
Bencana-bencana itu, menurutnya, datang sebelum perang besar. Dunia memasuki fase perang ekonomi terlebih dahulu, sebelum akhirnya konflik bersenjata dan nuklir muncul sebagai puncaknya.
Perang dunia ketiga dalam penglihatannya bukan peristiwa tunggal, melainkan rangkaian panjang. Dimulai dari konflik regional, disusul keterlibatan negara-negara besar, hingga akhirnya senjata nuklir digunakan.
Di tengah semua itu, Mas Ridwan melihat ekonomi global runtuh. Inflasi melonjak tajam, perusahaan-perusahaan besar tumbang atau terpaksa bergabung. Uang kertas kehilangan nilai, dan sistem barter perlahan kembali.
Indonesia pun tak luput. Lapangan kerja menyusut, PHK meningkat, dan masyarakat dipaksa bertahan dengan cara-cara lama. Mas Ridwan menyarankan satu hal yang terus ia ulangi: simpan nilai pada benda nyata—emas dan perak.
Meski demikian, Mas Ridwan menegaskan bahwa tidak semua penglihatan boleh diungkap. Waktu, tanggal, dan detail tertentu sengaja ia simpan. Bukan karena ingin misterius, tetapi karena ada batas yang tak boleh dilanggar.
Ia juga membedakan dengan tegas: penglihatan yang datang dari firasat dan kehendak Tuhan berbeda dengan ramalan yang bergantung pada makhluk lain. Yang kedua sering meleset, menyesatkan, dan menipu ego manusia.
Beban terberat Mas Ridwan bukanlah ketakutan orang lain, melainkan kesadarannya sendiri. Ia tahu, semakin sering ia membuka tabir masa depan, semakin cepat tenaganya terkuras.
Namun ia tetap berbicara. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengingatkan. Agar manusia tidak lengah, tidak mudah terprovokasi, dan tidak lupa bersiap.
Di balik semua gambaran kelam itu, Mas Ridwan percaya satu hal: masa depan masih bisa diperlunak. Doa, kesadaran, dan persatuan adalah satu-satunya penahan kehancuran.
Karena pada akhirnya, ramalan hanyalah peringatan. Jalan yang akan ditempuh tetap berada di tangan manusia—apakah menuju kehancuran, atau bertahan bersama melewati gelapnya zaman.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.