Pada tahun 2001, hidup keluarga Kang Firman mendadak jatuh ke titik terendah. Ayahnya yang bekerja sebagai koordinator di perusahaan farmasi tiba-tiba kehilangan pekerjaan setelah adu argumen dengan kepala cabang. Uang makan untuk karyawan bawahannya dianggap terlalu kecil, dan ketika Ayah Kang Firman mengusulkan kenaikan, ia justru dinyatakan “silakan keluar kalau tidak suka”. Dalam kondisi emosi naik, hampir terjadi adu fisik. Tak lama kemudian, ayah memutuskan untuk berhenti bekerja tanpa persiapan apa pun.
Sejak saat itu, ekonomi keluarga ambruk. Pendapatan hilang, sementara adik-adik Kang Firman masih sekolah dan membutuhkan biaya. Ibu mulai menjual barang-barang rumah: sofa, TV, kulkas, dan perabot lain satu per satu untuk bertahan hidup. Dulu mereka dikenal sebagai keluarga yang cukup mapan di komplek, bahkan sering memberi pinjaman beras kepada tetangga. Namun kini, dapur hanya mengepul seadanya. Kang Firman, yang saat itu masih remaja, melihat bagaimana ibunya berjuang sambil menahan tangis.
Sebagai anak pertama, Kang Firman merasa bertanggung jawab. Ia berhenti sekolah, bekerja apa saja: ngojek keliling komplek dengan tarif dua ribu rupiah, mengantar belanjaan tetangga, hingga mengangkat barang. Semua itu tidak banyak menghasilkan. Tekanan hidup datang bertubi-tubi, sementara Ayah Kang Firman seolah trauma dan tidak mau bekerja lagi. Pada momen itulah, benih keputusasaan mulai berubah menjadi keberanian nekat.
Suatu hari, Kang Firman menceritakan keluhannya kepada teman lamanya, Andri. Dari situlah ia diperkenalkan kepada seorang tetua di komplek bernama Eyang—seorang praktisi supranatural yang dikenal bisa “menghubungkan orang” dengan ritual pesugihan tertentu. Kang Firman awalnya bercanda, namun Eyang menanggapinya serius. Ia berkata ada cara mendapatkan uang instan tanpa tumbal keluarga, asalkan Kang Firman siap menjadi tumbal dirinya sendiri bila melanggar perjanjian. Tekanan hidup membuat Kang Firman berpikir pendek. Ia ingin keluarga kembali hidup layak seperti dulu, dan ia rela mempertaruhkan dirinya.
Eyang memberi tahu bahwa pesugihan itu tidak dilakukan di Cirebon, melainkan di Indramayu, bersama seseorang bernama Pak Selamet, yang konon adalah juragan tambak udang sekaligus pelaku pesugihan yang cukup berhasil. Mereka berangkat pagi-pagi, dan benar saja, Pak Selamet menyambut mereka dengan penuh keyakinan. Ia bukan hanya pemandu, tapi juga saksi hidup bahwa “bank gaib” memang ada. Ia memberi syarat berupa bunga tujuh rupa, menyan putih, serta rapalan mantra sebagai kunci akses ke dunia gaib.
Kang Firman pulang ke Majalengka untuk meminta izin pada ibunya. Ia tidak berani bicara kepada ayahnya. Dengan suara bergetar, ia mengaku ingin “pinjam uang gaib”. Ibunya menangis ketakutan, namun akhirnya mengizinkan setelah mendengar bahwa tumbal tidak akan mengenai keluarga hanya dirinya bila gagal. Dengan restu yang penuh kecemasan itu, Kang Firman kembali ke Cirebon, lalu ke Indramayu untuk memulai proses ritual.
Instruksi pesugihan sangat ketat. Rumah harus ditaburi bunga tujuh rupa di semua sudut. Menyan putih dinyalakan tepat tengah malam. Kang Firman harus merokok sambil membaca rapalan “dubila aman dubila pundi asal saking…” sampai mengantuk. Pada malam pertama, makhluk gaib mulai muncul. Sosok pertama yang ia lihat adalah dirinya sendiri kembarannya berdiri di depan, menatap tanpa ekspresi, mengikuti gerakannya seperti bayangan hidup. Sosok itu menghilang seperti lampu yang padam tiba-tiba.
Malam kedua lebih menyeramkan. Makhluk kecil seukuran tuyul, berbadan mungil namun berambut panjang, keluar dari tembok, berlari-lari sambil tertawa cekikikan di depan Kang Firman. Beberapa kali makhluk itu melintas menembus dinding seperti asap. Kang Firman ingin berteriak, tetapi tubuhnya membeku. Ia sudah terlanjur masuk terlalu dalam untuk mundur. Ia hanya menunggu kantuk menyelamatkannya dari ketakutan.
Malam ketiga, pengalaman Kang Firman berubah menjadi seperti melihat layar bioskop tak kasat mata. Ia melihat kakeknya di kebun, lalu seekor Buto Ijo sebesar pohon datang mendekat. Kakeknya melawan, mereka saling bergulat seperti manusia biasa. Adegan itu hilang dalam sekejap, namun Kang Firman tak paham apakah itu mimpi, halusinasi, atau pertanda.
Keesokan paginya, kakeknya marah besar. Ia menegur Kang Firman dengan bahasa Sunda kasar, menyebut bahwa Buto Ijo benar-benar datang ke rumah malam sebelumnya dan hendak membawa Kang Firman. Kakek menahan makhluk itu dengan ilmunya. Kang Firman tercekat mendengarnya. Ternyata apa yang ia lihat semalam bukan mimpi—itu nyata. Sejak itu, Kang Firman mulai takut, namun ritual tidak bisa dihentikan begitu saja.
Pada malam ketujuh, makhluk itu akhirnya muncul sepenuhnya. Wujudnya besar, gondrong, taring keluar, mata merah menyala. Tubuh Kang Firman kaku. Bahkan mantranya berhenti di tenggorokan. Makhluk itu bergemuruh bertanya, “Mau apa kamu?” Kang Firman dengan suara tercekat menjawab, “Pinjam uang… pinjam uang…” Setelah tiga kali diucapkan, makhluk itu membalas dengan suara berat: “Geus…” lalu menghilang seketika.
Menurut aturan, jika makhluk gaib sudah merespons, Kang Firman harus segera kembali ke Indramayu. Di rumah Pak Selamet, kejadian aneh bertambah. Seorang lelaki datang membawa kantong kresek berisi uang tunai, menyerahkan sebagiannya kepada Kang Firman sebagai tanda bahwa ia “lolos”. Kang Firman menerima sejuta rupiah itu dengan ketakutan—apa ini bagian dari ritual? Apakah ia akan menjadi tumbal orang lain?
Perjalanan pulang terasa panjang. Kang Firman menyewa mikrobus khusus agar tidak “diambil di jalan”. Ia bahkan membagikan sebagian uang itu kepada teman-teman gaple di depan komplek, berharap uang itu tidak membawa petaka. Malam demi malam ia melanjutkan ritual, menunggu kedatangan “bank gaib”.
Hingga pada hari kesepuluh sekitar pukul tiga sore, seseorang mengetuk pintu rumah. Ketukan itu terdengar jelas, tetapi hanya Kang Firman yang mendengar. Saat ia membuka pintu, seorang nenek berbadan ringkih dan mengenakan caping sawah berdiri sambil membawa dua kardus mie. Dari sela kardus itu, Kang Firman melihat tumpukan uang gepokan. Ketika ia hendak membungkuk mengambilnya, sosok laki-laki berpakaian adat Sunda hitam tiba-tiba datang, menendang dadanya sambil berkata, “Euweuh keturunan ka dieu maneh!” tidak ada garis keturunanmu ke sini!
Kang Firman terpental keras hingga menabrak lemari dapur. Ibu yang sedang memasak panik, namun ketika Kang Firman menoleh, kedua sosok itu telah hilang, bersih tanpa jejak. Tidak ada nenek, tidak ada kardus mie, dan tidak ada uang. Ritual itu gagal. Kang Firman ditolak oleh karuhun yang menjadi “penjaga akses” pesugihan tersebut.
Keesokan harinya, ia kembali ke Indramayu untuk memastikan. Pak Selamet mengangguk pelan dan berkata bahwa Kang Firman memang tidak diakui. Ia tidak cocok, tidak memiliki garis keturunan, dan tidak diperbolehkan menerima pinjaman gaib. Itu artinya, tidak ada uang, tidak ada kontrak lima tahun, dan tidak ada tumbal. Kang Firman terselamatkan dari kesepakatan yang bisa merenggut hidupnya.
Kini Kang Firman menjalani hidup sebagai tukang pijat relaksasi. Ia bersyukur tidak berhasil “meminjam” uang gaib itu karena harganya terlalu mahal. Dari kisahnya, ia selalu berpesan bahwa kesulitan hidup tidak boleh menjadi alasan untuk menempuh jalan gelap. Pesugihan mungkin terasa mudah, tetapi setiap kesepakatan dengan makhluk gaib akan meminta balasan—entah harta, keluarga, atau nyawa.
Ia menutup kisahnya dengan pesan yang keras, namun tulus: “Jangan pernah coba-coba, seberat apa pun hidupmu. Karena kalau pesugihan sudah terikat, hidupmu bukan milikmu lagi.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.