Di bawah cahaya petromak tua di tengah kebun beringin, dua pria berjongkok di hadapan sesaji kelapa muda, bunga tujuh rupa, bubur merah putih, dan ayam cemani yang diikat di kaki meja kayu. Malam itu, udara terasa lebih pekat dari biasanya. Dupa mengepul. Seekor ayam hitam disembelih, darahnya ditampung dalam gelas seng tua. Di hadapan mereka, seorang kakek berjubah putih menggumamkan mantra. Lalu batu berwarna hitam dimasukkan ke dalam gelas berisi darah. Dalam hitungan menit, darah itu tersedot habis, meninggalkan batu yang tampak berkilau.
Itulah awal dari pesugihan batu fosil yang mengubah hidup Mas Erwin, pedagang kelapa bakar di pasar Cirebon, dan Mas Kibaw, anak buahnya yang tanpa sadar ikut terseret ke dalam perjanjian dengan makhluk gaib.
Sebelum terlibat dalam peristiwa itu, Mas Kibaw hanyalah kuli panggul. Ia bangun tengah malam, memikul karung sayur dari truk ke kios, dibayar dua puluh ribu per muatan. Hingga suatu hari, Mas Erwin, pemilik kios sayur dan toko sembako, menawarinya pekerjaan lebih ringan menjaga lapak. “Saya cuma mau bantu,” kata Erwin kala itu. Bayarannya harian, Rp170 ribu angka besar bagi Mas Kibaw.
Awalnya semua terasa normal. Namun satu malam, Erwin mengajak Mas Kibaw ikut “perjalanan penting.” Mereka membawa kelapa merah, bunga tujuh rupa, telur ayam kampung, dan dupa. Tujuannya sebuah rumah reyot di tengah kebun wilayah perbatasan Cirebon–Subang. Di sanalah mereka bertemu Abah Kasor, seorang dukun sepuh yang dikenal menjalankan ritual penglaris.
Erwin ternyata bukan pedagang biasa. Di balik kesuksesannya menjual kelapa obat dan sembako, ia menyimpan rahasia gelap. Ritual itu dilakukan untuk “memberi makan batu penglaris” yang disebut Abah Kasor sebagai batu fosil darah. Batu itu dipercaya menyerap energi hidup dari darah ayam cemani agar bisa menarik pelanggan tanpa henti.
Setelah ritual itu, warung Erwin berubah drastis. Kelapa bakarnya laris seperti tak pernah habis. Dari hanya belasan butir sehari, penjualan melonjak jadi seratus, bahkan dua ratus. Dalam sebulan, keuntungan bersih mencapai Rp80 juta. Batu kecil yang semula berlumur darah kini disimpan di meja kasir, dibungkus kain putih dan bunga kantil. “Sejak itu, pembeli datang terus, seolah dipanggil,” kenang Mas Kibaw.
Keduanya mulai menambah usaha. Warung kelapa berubah menjadi kafe mini dengan menu makanan modern. Dalam waktu kurang dari setahun, mereka mempekerjakan 14 karyawan dan membuka cabang. Mas Kibaw membeli motor baru, bahkan rumah kecil. Sementara Erwin membeli mobil dan membuka toko sembako di rumahnya.
Namun kejayaan itu hanya bertahan sembilan bulan. Karena kesibukan dan penyakit stroke yang menimpanya, Erwin lupa melakukan ritual bulanan memberi makan batu dengan darah ayam cemani setiap malam Kliwon.
Sejak hari itu, pertanda aneh muncul. Pelanggan datang tapi mengaku “melihat warungnya tutup.” Nasi goreng yang dimasak tiba-tiba berubah gosong, ayam goreng lenyap dari wajan, dan salah satu karyawan kerasukan, berteriak marah karena “tidak diberi makan.” Omzet turun drastis. Dari puluhan juta, menjadi tak sampai satu juta per hari.
Dua bulan kemudian, kafenya terbakar hebat. Mas Kibaw yang baru pulang dari pasar mendapat kabar tengah malam bahwa api melalap seluruh bangunan. “Padahal listrik sudah saya cabut semua,” ujarnya. Setelah kebakaran itu, usaha sembako milik Erwin pun ikut musnah. Rumah, mobil, dan seluruh harta lenyap dilalap api.
Tragisnya, dalam peristiwa itu Erwin, istrinya, dan anak semata wayangnya ikut tewas.
Mas Kibaw selamat karena kebetulan tak berada di sana. Tapi sejak saat itu, hidupnya tak tenang. Tubuhnya mendadak sakit setiap sore, terutama selepas waktu asar. Ia seperti lumpuh di kasur, tak bisa bicara, tak bisa bergerak. Dokter bilang sehat, tapi rasa sakit itu datang setiap hari, hanya berhenti menjelang subuh.
Hingga suatu malam, kakaknya bermimpi melihat dirinya diikat di pohon besar, dijaga genderuwo dan sosok leak. Ibu mereka yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an akhirnya menyiapkan air doa. Ketika air itu diminum, Kibau menggigil dan kesurupan. “Saya teriak-teriak, katanya kayak ngeleak, sampai keluar suara gamelan,” ceritanya.
Dua minggu kemudian, ia dibawa ke Masjid Jagabayan di Cirebon untuk dimandikan dan ditawasul. Di sana, seorang ustaz menatapnya tajam dan berkata, “Kamu pernah terlibat pesugihan.” Kibau menolak, tapi ustaz menjelaskan bahwa minuman yang ia konsumsi dari Mas Erwin dulu telah menjadi sarana perjanjian gaib. “Ritual itu tidak hanya mengikat yang melakukan, tapi juga orang yang dilibatkan,” ujarnya.
Sejak dimandikan dan dibersihkan, sakit itu hilang. Tapi Mas Kibaw mengaku, setiap kali mendengar azan, dadanya terasa panas. “Kadang ada bisikan menyuruh saya menjual semua harta yang tersisa. Tapi saya lawan,” katanya.
Kini ia hidup sederhana, bekerja lagi sebagai teknisi HP, jauh dari pasar dan segala bentuk ritual. Ia masih memiliki rumah dan motor hasil usahanya dulu, tapi baginya semua itu bukan berkah, melainkan pengingat.
“Kalau usaha, ya usaha aja. Rezeki itu datangnya dari Allah, bukan dari darah ayam atau batu fosil,” katanya lirih. “Saya lihat sendiri, orang yang punya batu itu akhirnya habis, bahkan keluarganya juga ikut.”
Kisah Mas Kibaw dan Mas Erwin menjadi gambaran nyata bagaimana pesugihan tak pernah memberi tanpa mengambil. Omzet bisa melesat, rezeki bisa mengalir deras, tapi ujungnya selalu sama: kehilangan, kematian, dan penyesalan. Batu yang semula jadi simbol penglaris berubah menjadi batu kutukan, dan darah ayam yang disangka penambah rezeki ternyata hanyalah simbol janji dengan setan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.