Di antara ratusan jenis santet yang dipercaya ada di Nusantara, hanya sedikit yang disebut para praktisi sebagai “yang paling kejam”. Santet itu tidak hanya menyerang tubuh, tidak hanya membuat sakit fisik, tidak hanya menimbulkan halusinasi, tetapi juga mengincar garis keturunan. Santet itu bernama Getih Ireng darah hitam. Sebuah bentuk ilmu hitam yang konon lahir dari dendam paling dalam, bekerja melalui sihir tingkat tinggi, dan ketika menyerang seseorang, dampaknya dapat melukai anak, cucu, bahkan cicitnya.
Kisah paling jelas tentang kedahsyatan santet jenis ini bermula dari pengalaman Rina, seorang wanita Jawa Tengah yang baru saja menikah dengan Pram pada awal 2000-an. Hari pernikahan mereka berlangsung meriah, tetapi sebuah pertanda buruk muncul ketika tiba-tiba seluruh ruangan dipenuhi bau busuk bercampur amis. Panitia mencari penyebabnya dan menemukan bak pendingin AC penuh sampah dan bangkai tikus. Awalnya semua mengira itu sabotase manusia. Tidak ada yang menyangka bahwa peristiwa itu adalah awalan dari sebuah kutukan panjang.
Tiga hari setelah pesta, pasangan itu pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh Pram. Rumahnya berada di dataran tinggi, seharusnya sejuk, bahkan dingin. Tetapi begitu pintu dibuka, hawa panas menyeruak seperti berjalan masuk ke tungku raksasa. Lantai penuh tanah, bau bangkai memenuhi udara, dan suasana rumah terasa “salah”. Mereka memanggil pekerja rumah, namun pekerja itu bersumpah bahwa rumah sebenarnya telah dibersihkan hanya beberapa jam sebelumnya. Tanah yang muncul di sudut-sudut rumah itu bahkan tampak seperti tanah kuburan, muncul kembali setiap hari meski sudah disapu habis.
Keanehan makin banyak. Suhu ruangan terasa panas meskipun mereka berada di dataran tinggi. AC tidak membantu. Suasana rumah memberatkan dada. Namun Rina tetap bertahan, menenangkan diri, dan mengira semua itu hanya adaptasi rumah baru. Sampai suatu malam, ia mengundang ustaz dan warga untuk syukuran rumah. Seorang kakek berpakaian hitam datang, dijamu sebagai ustaz, lalu menghilang begitu saja ketika ustaz asli tiba. Malam itu, Rina melihat kakek itu berdiri di halaman sambil menunjuk dirinya. Tidak ada orang lain yang melihatnya.
Sejak hari itu mimpi buruk mulai datang. Dalam mimpi, Rina melihat kakek kurus kering merayap di plafon rumah, liurnya menetes, wajahnya kosong, dan ia menggrogoti tubuhnya dengan nafsu buas. Mimpi itu hadir setiap malam. Ketika Rina hamil, mimpi itu menjadi lebih intens, seperti sosok itu ingin masuk ke tubuhnya dan merenggut sesuatu dari dalam rahimnya. Puncaknya terjadi pada usia kandungan tujuh bulan, ketika dalam mimpi kakek itu menghantam perutnya. Ia terbangun sambil memukul perut sendiri tanpa sadar, lalu mengalami pendarahan hebat. Anak pertamanya gugur.
Rasa bersalah menggerogoti Rina. Ia mengira bahwa keguguran itu akibat dirinya tidak bisa mengendalikan diri dalam mimpi. Namun malam setelah pulang dari rumah sakit, ia bangun dan melihat sosok kakek itu memakan janin yang hilang dari rahimnya. Ketika ia berteriak dan Pram datang, sosok itu sudah menghilang. Dari titik itu, Pram mulai percaya bahwa istrinya tidak berhalusinasi. Tanah kuburan, suara pasir di atap, bangkai hewan yang muncul tiba-tiba semuanya nyata.
Mereka mencari pertolongan orang pintar. Seorang tabib mengatakan bahwa Rina terkena santet darah turunan, sebuah santet yang bukan ditanam lewat buhul, tetapi melalui tali gaib yang menempel pada darah korban. Artinya, bukan hanya Rina yang menjadi target. Anaknya juga. Bahkan cucunya di masa depan bisa terkena dampaknya. Tabib itu mengatakan bahwa hanya ada dua cara menghentikan santet ini: menemukan pelaku santet yang mengirimnya, atau menunggu pelakunya mati. Tidak ada jalan ketiga.
Setelah diusut, terungkaplah rahasia yang lama disembunyikan Pram. Seminggu sebelum menikah, ia berselingkuh dengan bawahannya. Bagi Pram itu hanya kekhilafan. Tetapi bagi perempuan itu, hubungan tersebut adalah obsesi. Ketika Pram menolak melanjutkan hubungan dan memecatnya, perempuan itu mengucap sumpah: “Kamu dan keluargamu tidak akan pernah bahagia.” Dendam itu menjadi bara yang menjadi “media” santet Getih Ireng.
Rina mencoba bertahan. Ia menjalani ruatan, rukiah, dan pengobatan spiritual. Ia hamil lagi dan melahirkan anak secara prematur tapi selamat. Namun anak itu tumbuh berbeda. Ia memiliki kebiasaan aneh memakan daging mentah, meminta darah, dan tidak takut pada hal-hal yang membuat anak lain menangis. Pada ulang tahunnya yang ketujuh, Rina bermimpi lagi bertemu kakek kurus itu. Namun kali ini, kakek itu sedang memeluk anaknya. Anak itu tampak nyaman. Di sinilah Rina mulai menyadari: anaknya berada dalam target santet yang sama.
Gangguan di rumah kembali meledak. Keramik lantai pecah sendiri, mengeluarkan kelabang. CCTV merekam pot jatuh tanpa sebab, kursi bergerak sendiri, dan tanah kuburan muncul tanpa manusia. Rina kehilangan grip pada realitas, hingga menyakiti dirinya sendiri karena ketakutan yang tak dapat dijelaskan. Saat dibawa ke seorang kiai, kiai itu memastikan: yang disantet adalah Rina, tetapi yang terkena dampaknya adalah anaknya. Inilah ciri santet Getih Ireng. Ia tidak hanya menyasar tubuh, tetapi menyasar garis darah.
Kisah Rina hanyalah satu dari banyak. Dalam file yang sama, Mas Hiday seorang mediator indigo menceritakan bahwa keluarganya juga pernah diserang santet darah turunan. Kakeknya seorang penyembuh spiritual. Banyak dukun dendam padanya. Mereka mengirim serangan santet yang akhirnya membuat nenek sakit tanpa diagnosis jelas, lalu berubah perilaku seperti hewan. Ketika keluarga mencoba mengusir gangguan, mereka melihat kuntilanak berwajah meleleh, darah hitam keluar dari bak mandi, dan akhirnya satu per satu anggota keluarga jatuh sakit. Darah hitam getih ireng keluar dari tubuh korban sebelum meninggal.
Serangan itu tidak berhenti pada satu generasi. Setelah nenek meninggal, omnya terkena penyakit aneh. Setelah omnya meninggal, kakek menyusul. Setelah kakek meninggal, ibunya sakit. Mas Hiday sendiri pingsan hingga muntah darah hitam. Semua tanda-tanda ini identik: bau amis, darah hitam, mimpi buruk, dan keberlanjutan serangan yang tidak bisa diputus oleh rukiah biasa.
Para ustaz, dukun putih, dan spiritualis yang diwawancarai sepakat bahwa santet ini bekerja dengan memanggil jin Ifrit, makhluk yang di dunia spiritual dikenal sebagai spesialis sihir. Jin ini bersekutu dengan pelaku santet melalui perjanjian berdasar dendam dan obsesi. Karena medianya adalah darah, maka santet ini melekat seperti virus turun-temurun. Bila korban selamat, santet itu tidak hilang ia hanya pindah ke keturunannya.
Tim Jagat Mistis kemudian melakukan penelusuran hingga ke pantai selatan, wilayah yang dipercaya menjadi tempat transaksi ilmu hitam termasuk perjanjian santet darah turunan. Di sana mereka menghadapi gangguan astral, suara binatang tak terlihat, ombak tinggi tiba-tiba, hingga penampakan sosok putih dan hitam di kamera. Dari mediumisasi, muncul satu nama yang mengaku menguasai santet tersebut: Nyi Doro Tiro, sosok gaib berkerajaan yang membawa kendi berisi air hitam simbol bahwa sebuah keluarga telah dikutuk.
Meski semua itu terdengar seperti kisah film, catatan pengalaman para pelaku, korban, dan saksi menunjukkan pola yang tidak bisa dianggap kebetulan: santet ini menyerang tanpa buhul, bekerja melalui psikologis, muncul melalui darah hitam, dan hanya bisa berhenti ketika pelakunya ditemukan atau karena kuasa Tuhan langsung menghentikan rantainya.
Pada akhirnya, semua narasumber sepakat bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada Tuhan. Seburuk-buruknya santet, sekelam-kelamnya dendam, selalu ada jalan untuk melawan: lewat ibadah, lewat ikhlas, lewat kebaikan yang terus dilakukan. Tetapi bagi mereka yang pernah melihat getih ireng bekerja, satu hal pasti ini adalah santet paling kejam di Nusantara, karena ia tidak hanya menyiksa korban, tetapi menghancurkan masa depan keturunannya.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.