Di pedalaman Tapanuli Utara, Sumatra, di antara bukit panas bumi dan kebun durian yang jarang berbuah, tersimpan kisah yang membuat bulu kuduk berdiri. Kisah nyata Bang Rendy, seorang kernet truk sekaligus tukang bangunan, yang tanpa sengaja menemukan benda-benda mistis berisi kekuatan pesugihan setelah tersesat di hutan yang dikenal keramat oleh warga sekitar.
Kisah ini bukan sekadar legenda, tapi pengalaman hidup nyata yang membuat Bang Rendy sadar: kekayaan instan dan dunia gaib tak pernah memberi tanpa mengambil sesuatu yang lebih berharga.
Bang Rendy bukanlah orang luar. Ia lahir dan besar di Tapanuli, namun sempat merantau ke Asahan sebelum akhirnya pulang karena mendapat pekerjaan mengangkut barang proyek pengeboran panas bumi. Bersama sopir dan sepuluh kru lainnya, mereka tinggal di penginapan sederhana untuk para sopir truk hanya bilik beratap seng, tanpa pintu, beralaskan tikar.
Sore itu, usai menurunkan muatan, ia dan rekan-rekannya memutuskan mandi di kolam ikan di dekat penginapan. “Awalnya jam lima sore, matahari masih terang,” kenangnya. “Tapi tiba-tiba seperti ada yang lempar pasir ke arah kami. Begitu kami sadar, sudah malam.”
Mereka panik. Waktu seolah meloncat tanpa logika. Dari sore yang terang langsung menjadi gelap gulita. Mereka segera berlari kembali ke penginapan dan baru sadar jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Keesokan harinya, saat mencuci truk di dekat parit, Bang Rendy mencium aroma bunga melati yang sangat kuat. “Baunya makin lama makin nyengat. Bulu kuduk saya berdiri,” ujarnya. Ia berusaha menenangkan diri, tapi semakin dicoba diabaikan, aroma itu justru makin pekat, seperti mengepung seluruh tubuhnya.
Ketika malam tiba, gangguan semakin nyata. Mobil truknya bergetar sendiri, dan kotak kunci di dalam kabin terbuka tanpa sebab. “Ada kunci roda loncat sendiri, padahal kotaknya terkunci,” ceritanya. Tak ada satu pun orang di sekitar, namun suara besi jatuh bergema keras.
Dalam ketakutan yang bercampur amarah, ia mengikuti naluri aneh. “Saya kencingin mobil itu,” katanya sambil tertawa getir. “Katanya kalau mau menandai wilayah biar enggak diganggu makhluk halus, ya tandai dengan air kencing.” Tapi rasa takut tetap menghantuinya. Hingga malam itu, truknya kembali bergoyang sendiri. Ia menantang, “Terserah kau mau ganggu apa!” sebelum akhirnya tertidur pulas hingga pagi.
Pagi harinya, pemilik warung di sekitar lokasi berkata padanya, “Kamu semalam tidur di dekat parit? Di situ memang ada sosok tua, pakai kopiah, jenggotan. Dia enggak jahat, cuma enggak suka kalau ada mobil parkir di wilayahnya.”
Bang Rendy terdiam. Ia sadar, mungkin malam sebelumnya bukan mimpi. Sosok tua itu, yang disebut warga sebagai “penunggu parit” yang merupakan penghuni lama yang menjaga lokasi tersebut sejak masa perusahaan lama beroperasi di tahun 1990-an.
Beberapa hari kemudian, rasa penasaran membawanya bersama enam rekan ke lembah kawah panas di sekitar area proyek. Asap tebal putih mengepul dari bawah, dan suara mendesis terdengar dari perut bumi. “Kita lihat cuma air mendidih, panas sekali. Batu yang saya pijak hancur, hampir jatuh saya ke kawah,” kenangnya.
Setelah puas berfoto, mereka berenang di pertemuan dua aliran air satu panas dari kawah, satu dingin dari sungai kecil. “Rasanya pas, airnya hangat,” katanya. Tapi sejak hari itu, nasib mereka mulai aneh.
Ketika hendak pulang, mereka tersesat. “Sudah patah-patah ranting buat penanda jalan, tapi enggak ada yang kelihatan. Balik ke titik yang sama terus,” ucapnya. Siang berganti malam tanpa arah. Mereka baru menemukan jalan setelah mendengar suara mesin dari kejauhan.
Padahal jarak lembah ke lokasi kerja hanya sekitar 200 meter. Namun mereka seperti diputar dalam dimensi gaib selama berjam-jam.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, ia ditugaskan mengecek gudang yang sudah tutup sore hari. Saat hendak kembali ke mobil, ia melihat dari kejauhan sosok laki-laki berkepala pecah, bola matanya bergantung satu dan memancarkan warna merah. Tubuhnya berjalan tertatih dari lembah menuju arah bukit.
Ia panik, mengunci gerbang, menstarter mobil, dan kabur sejauh mungkin. “Tiga hari saya enggak kerja,” katanya.
Belakangan, kakeknya bercerita bahwa pada tahun 1990-an, saat proyek lama pertama dibuka, ada pekerja yang meninggal tertimpa pohon saat menebang. “Kepalanya pecah,” kata sang kakek. Saat itu juga, Rendy yakin makhluk yang dilihatnya adalah roh pekerja lama yang belum tenang.
Beberapa tahun berlalu, Bang Rendy kembali ke kawasan itu untuk proyek baru. Di waktu senggang, ia berjalan ke hutan dan terpikat oleh hamparan bunga-bunga oranye dan ungu. “Saya lihat ada batu besar yang datar, di atasnya ada benda-benda kecil,” ujarnya.
Di atas batu itu, tersusun rapi uang kertas Rp25 tahun 1960-an, dua koin berlubang di tengah, sepasang taring, dan kuku panjang seperti hewan buas.
“Saya mikir, diambil enggak ya?” katanya. “Akhirnya saya ambil. Saya kira cuma benda aneh.” Ia bawa pulang dan menyimpannya.
Namun seorang teman asal Jawa berkata, “Kamu dipercaya itu, Lek. Itu media pesugihan. Benda itu bisa kamu pakai untuk cari kekayaan atau barang pusaka, tergantung niatmu.”
Bang Rendy menggeleng. “Saya enggak mau. Saya cuma jadikan koleksi.” Tapi sejak saat itu, benda-benda itu seperti memiliki kehidupan sendiri.
Beberapa kali uang kuno itu hilang dari lemari, lalu tiba-tiba muncul kembali di tempat yang sudah diperiksa berkali-kali. “Saya udah bongkar semua, tapi istri saya tiba-tiba nemu di bawah kertas yang saya sendiri yang taruh,” ujarnya, heran.
Suatu sore, saat duduk sendirian di area kerja, ia didatangi seorang kakek tua berambut putih. “Kamu orang mana?” tanya sang kakek. Setelah basa-basi, lelaki tua itu berkata, “Kamu bisa punya uang banyak, tapi harus lakukan sesuatu. Ambil air tujuh sumur, campur bunga kantil dan bunga macan kera. Mandi dengan air itu di malam hari. Setelahnya, panggil aku.”
Bang Rendy tersentak. Ia tahu, itu tawaran pesugihan. Sang kakek menambahkan, “Kalau sudah berhasil, kamu harus ingat aku. Ada yang harus kamu bayar.”
Rendy menolak dengan tegas “Saya bukan orang seperti yang Opung mau. Kalau mau, cari orang lain saja,” katanya tegas. Saat ia menoleh sejenak, kakek itu menghilang tanpa jejak.
Sejak peristiwa itu, Bang Rendy merasa lebih berani menghadapi hal-hal mistis. “Saya enggak takut lagi kalau lewat hutan atau tempat sepi. Tapi saya tahu, keberanian ini bukan berarti saya kebal,” katanya.
Ia masih menyimpan benda-benda temuannya di rumah, namun tidak pernah memanfaatkannya untuk tujuan apa pun. “Saya enggak mau cari kaya lewat jalan gelap. Kalau mau rezeki, ya lewat kerja keras.”
Kini ia bekerja sebagai tukang bangunan, hidup sederhana bersama keluarga di Tapanuli. Sesekali, ketika melihat bunga ungu di pinggir jalan, ia teringat masa-masa itu. “Kadang saya mikir, mungkin itu ujian. Tuhan kasih lihat dunia lain supaya saya enggak salah pilih jalan,” katanya.
Kisah Bang Rendy menjadi pengingat bahwa dunia gaib bukan untuk dijelajahi tanpa izin. Di Sumatra, banyak tempat yang masih dijaga makhluk halus atau roh pekerja lama yang belum tenang.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.