Di balik hiruk-pikuk kehidupan kota, tersimpan kisah kelam dan penuh mistik yang jarang terungkap ke permukaan. Kisah ini datang dari seorang bernama Budi pemuda nekat yang mengubah hidupnya dari santri gagal menjadi penguasa dunia preman, berbekal ilmu kanuragan tingkat tinggi bernama Pancasona.
Budi berasal dari keluarga terpandang dan cukup berada. Ia sempat mondok di Jawa Timur, namun tidak tertarik mendalami kitab-kitab keislaman. Sebaliknya, ia mencari ilmu-ilmu mistik di luar pondok. Jiwa pemberani, bahkan cenderung nekat, membuatnya berani menantang siapa pun, termasuk tokoh-tokoh sakti.
Keinginannya untuk menguasai ilmu kanuragan membawanya bertemu kembali dengan sahabat lamanya, Nasim. Setelah melalui berbagai peristiwa termasuk nyaris bentrok dengan preman sakti di Bandung yang memiliki ajian Rawa Rontek, Budi mengungkap niatnya: mencari seorang guru ilmu Pancasona bernama Eyang Wijaya yang kemudian ia temukan di Demak.
Ilmu Pancasona bukan sembarang ajian. Panca berarti lima, Sona berarti rupa. Ilmu ini memungkinkan penggunanya membelah diri hingga lima wujud fisik yang semuanya tampak nyata. Namun tak semua orang mampu menguasainya secara penuh. Menurut Eyang Wijaya, hanya satu orang sejauh ini yang pernah mencapai level tertinggi yaitu Eyang Joyo Digdo, leluhur ilmu ini.
Budi dan Mas Nasim menjalani ritual berat selama 21 hari, termasuk puasa tanpa makanan yang tersentuh api dan hanya meminum air embun. Namun hanya Budi yang berhasil. Ia dapat membelah diri menjadi dua, dengan gerakan dan pikiran yang identik. Sayangnya, dari tatapan matanya, Nasim sudah mencium firasat buruk: ilmu ini akan digunakan tidak semestinya.
Dengan ilmu barunya, Budi berubah total. Ia membangun jaringan preman dan menguasai berbagai titik vital di Cilacap hingga ke ibu kota. Ia brutal, tak terkontrol, dan tak segan menyakiti siapa pun bahkan anak buahnya sendiri. Keberadaannya pun ditakuti banyak orang.
Suatu saat, ia bahkan membuat dua versi dirinya hidup bersamaan yang satu di penjara Nusa Kambangan akibat kasus berat, satunya lagi tetap beraktivitas di luar. Pancasona benar-benar ia maksimalkan.
Namun segala kekuatan memiliki celah. Anto, sahabat dan anak buah setia Budi, akhirnya muak melihat sahabatnya berubah menjadi tiran. Melalui puasa dan petunjuk spiritual, Anto menemukan kelemahan Pancasona senjata yang selalu dibawa oleh Budi asli.
Dalam sebuah rencana rapi dan penuh risiko, Anto berhasil merebut senjata tersebut saat Budi mabuk dan menusukkannya ke tubuh Budi sebanyak tujuh kali. Ajaibnya, Pancasona tak mampu menyelamatkan Budi dari senjatanya sendiri. Budi meninggal di tempat.
Anto menyerahkan diri ke polisi. Sementara itu, Budi yang “lain” kloningannya menghilang begitu saja. Dunia pun mengetahui bahwa ilmu Pancasona benar-benar nyata. Namun, ia juga membuktikan satu hal: sehebat apapun ajian, tak akan berguna jika jatuh ke tangan yang salah.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa ilmu apalagi ilmu sakti bukanlah jalan menuju kekuasaan absolut. Pancasona, Rawa Rontek, atau ajian apa pun hanyalah alat. Manusia yang membawa dan mengelolanya lah yang menentukan apakah alat itu jadi berkah atau bencana.
Seperti kata Nasim, “Bukan ilmunya yang jelek, tapi manusianya yang belum mampu menjaganya.” Ia kini memilih jalan damai, meninggalkan dunia keilmuan kanuragan, dan mencari ilmu yang lebih tinggi: keselamatan dunia dan akhirat.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.