Cilacap, 2003. Di tengah hening gua Serandil, seorang pemuda Kejawen bernama Mas Nasim duduk bersila. Tubuhnya lemah setelah berhari-hari hanya bertahan dengan tetesan air bebatuan dan lumut yang ia kunyah demi menahan lapar. Malam ketiga tirakat, udara mendadak dingin, lalu muncullah sosok perempuan anggun berkebaya putih, berparas jelita dengan selendang yang menjuntai. Dialah sosok yang diyakini banyak orang sebagai Nyi Blorong, ratu gaib penguasa kekayaan duniawi.
“Apa yang kamu cari di sini?” suara lembut itu menggema di dinding gua. “Kalau kamu mau harta, emas, dan kemewahan dunia, ikutlah padaku.”
Seketika, lima dayang-dayang cantik ikut bermunculan. Wajah mereka menawan, tubuh langsing, rambut hitam tergerai, dan wangi semerbak menyeruak. Satu per satu membuka kebaya, menyingkap tubuh indah bak bidadari. Tawaran itu begitu menggoda, apalagi Mas Nasim masih bujang, raganya lemah, dan pikirannya hampir goyah. Namun, di dalam hati, ia berbisik keras bukan ini yang dicari.
Penolakan itu membuat Nyi Blorong murka. Wujudnya berubah seketika, dari perempuan cantik menjadi sosok ular raksasa dengan mahkota bertatahkan permata. Lidahnya menjulur, matanya menyala, dan desisannya memekakkan telinga. “Kalau tidak mau ikut aku, akan kumakan kau!” ancamnya. Namun Mas Nasim tetap teguh, mulutnya tak berhenti melantunkan wirid. Fajar pun tiba, dan makhluk itu lenyap bersama kegelapan.
Godaan tak berhenti di situ. Malam berikutnya, muncul seorang penggawa gaib berpakaian layaknya patih kerajaan. Ia menawarkan kekuasaan, wibawa, dan jabatan. “Dengan ini, orang akan tunduk padamu,” katanya. Namun Mas Nasim kembali menolak. Malam kelima, cobaan datang lebih berat lima dayang-dayang cantik kembali hadir, kali ini dengan rayuan tubuh dan sentuhan. Mereka mengelilinginya, memijat, bahkan memeluk. Raganya bergetar, nafsu berusaha menjerat, tetapi ia kembali mengingat tujuannya. “Aku tidak mencari kesenangan itu,” batinnya.
Hari keenam adalah ujian sakit. Tubuhnya terasa ditusuk ribuan jarum, kepala berdenyut, seluruh persendian linu tak terkira. Ia hampir menyerah, tetapi istighfar tak berhenti dari bibirnya. Hingga akhirnya, pada malam ketujuh, ujian terakhir datang dalam bentuk paling aneh: ia mendengar suara orang mengaji, lembut, mendayu, namun begitu familiar. Saat membuka mata, ia melihat dirinya sendiri duduk di hadapannya, sosok kembaran yang identik.
“Aku adalah dirimu yang sejati,” kata sosok itu. “Apa yang kau cari bukanlah harta, jabatan, atau perempuan, melainkan Allah. Tauhid. Inilah jawaban dari kekosongan spiritualmu.”
Sosok itu lalu menyerahkan sebuah gelang tasbih berisi 33 butir logam dingin. “Ini hanya media, bukan kekuatan. Gunakan untuk wirid, untuk mengingat Allah.” Setelah itu ia membacakan Surah Al-Ikhlas, menegaskan bahwa inti perjalanan spiritual adalah mengenal Sang Pencipta.
Sejak hari itu, Mas Nasim tak lagi mengejar pesugihan atau godaan dunia gaib. Ia membawa pulang tasbih itu sebagai pengingat, bukan sebagai jimat, melainkan sebagai pengikat hati pada tauhid. “Semua godaan yang datang harta, jabatan, perempuan hanyalah ujian,” kenangnya. “Tapi ujung dari semua perjalanan spiritual, pasti kembali pada satu titik: mengenal Allah.”
Kini, bertahun-tahun setelah pengalaman di gua Serandil, Mas Nasim hidup sederhana. Ia masih membawa tasbih itu, menggunakannya untuk wirid setiap hari. Bukan untuk kekebalan, bukan untuk pesugihan, melainkan untuk menjaga hatinya tetap tenang. Pengalamannya menjadi pelajaran bahwa jalan mistis penuh tipu daya. Di balik gemerlap emas dan rayuan bidadari, ada jerat yang bisa menghancurkan jiwa. Tetapi bagi mereka yang teguh, ada cahaya yang menuntun pada kebenaran sejati.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.