Tahun 2012, Mbak Jeje tiba di Jakarta hanya berbekal 300 ribu. Uang itu pun hasil pinjaman tetangga, sisa dari ongkos perjalanan keluar dari zona nyaman di kampung halaman. Tekadnya sederhana mencari hidup baru. Namun kerasnya ibu kota segera memperlihatkan wajah aslinya. Dari terminal, ia mencari kontrakan murah di daerah Periuk, Tangerang. Di sanalah hidupnya yang penuh warna, pahit, dan mistis dimulai.
Langkah pertama yang ia coba adalah mencari pekerjaan di kawasan Senen. Namun yang ditemuinya bukan lowongan kerja resmi, melainkan preman bertato yang menawarkan jalan pintas mencopet. Dalam ketakutan bercampur lapar, ia terpaksa ikut. Hasil pertamanya 300 ribu, namun hanya sekali itu ia bertahan. “Takut ketahuan, takut digebukin. Rasanya enggak sebanding,” kenangnya. Sejak itu ia bertekad meninggalkan jalan gelap tersebut.
Pekerjaan berikutnya membawanya ke sebuah restoran besar di Kelapa Gading. Awalnya diterima sebagai pelayan, lalu dipindah menjadi pencuci piring malam hari. Tapi enam bulan bekerja di sana justru membuka rahasia kelam. Hampir tiap malam ia diganggu sosok perempuan bergaun putih mirip kuntilanak yang duduk di kursi kosong atau menangis di kamar mandi. Manajer restoran berusaha menutup-nutupi, hingga akhirnya mengaku restoran itu memang dijaga makhluk ghaib sebagai bagian dari pesugihan penglarisan. Pengalaman itu membuat Mbak Jeje memilih keluar, ketakutan kalau dirinya menjadi tumbal berikutnya.
Tak lama, ia masuk ke dunia penonton bayaran televisi. Bayarannya kecil, hanya 20 ribu per acara, meski sebenarnya agensi mendapat 100 ribu per kepala. Potongan demi potongan membuat banyak pekerja bayaran hidup sengsara. Lebih mengerikan, banyak di antara mereka meninggal mendadak kelelahan, sakit, atau kecelakaan. Mbak Jeje curiga ada kaitannya dengan praktik ghaib yang melingkupi agensi tertentu. “Setiap kali bos besarnya datang, kepala saya pusing. Rasanya ada energi gelap yang kuat sekali,” ujarnya. Sejak seorang teman meninggal dan muncul dalam mimpinya meminta maaf, ia memutuskan keluar dari lingkaran itu.
Tahun 2019, Mbak Jeje beralih menjadi pengamen keliling di Serpong. Bersama komunitasnya, ia menghias wajah, berdandan, lalu menyanyi dari warung ke warung, dari restoran ke restoran. Kadang dihina, kadang diusir, bahkan pernah disiram air. Namun tak jarang juga mendapat rezeki besar. Ia pernah membawa pulang hingga 15 juta dalam sehari, berkat “ritual kecil” seperti mandi bunga dan doa-doa khusus sebelum berangkat. “Yang biasanya orang enggak ngasih, tiba-tiba ngasih 50 ribu, 100 ribu,” katanya.
Namun dunia ngamen pun tak lepas dari hal mistis. Ia mengaku bisa melihat makhluk ghaib di beberapa restoran kuntilanak yang meludahi kuah masakan, sosok berambut panjang menggigit jarinya sendiri di pojok dapur, bahkan pocong berdiri kaku di dekat tungku. Baginya, itu bukti bahwa praktik pesugihan dan penglarisan memang nyata ada di balik bisnis makanan ibu kota. “Enggak semua, tapi banyak yang nakal,” ujarnya.
Di tengah kerasnya hidup, Mbak Jeje akhirnya menemukan jati dirinya. Sejak kecil ia merasa lebih nyaman sebagai perempuan, meski lahir sebagai laki-laki. Di Jakarta, ia berani tampil apa adanya. Menjadi pengamen bukan sekadar cara bertahan hidup, melainkan juga sarana mengekspresikan diri. “Saya enggak mau kerja di restoran lagi. Capek, gajinya enggak seberapa. Kalau ngamen, saya bebas. Enggak ada bos, enggak merugikan orang. Saya hanya menghibur,” katanya.
Kini, meski hidupnya masih sederhana, Mbak Jeje merasa lebih damai. Ia berdamai dengan masa lalu, dengan keluarga, bahkan dengan makhluk ghaib yang kadang masih menampakkan diri. Baginya, Jakarta adalah guru besar yang mengajarkan arti perjuangan: bahwa di balik gemerlap ibu kota, ada dunia kelam pesugihan, ada jeritan orang-orang kecil, ada pengorbanan mereka yang hidupnya tak pernah masuk berita.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.