Tahun 2000 menjadi titik balik hidup keluarga Pak Agus dan Ibu Sri. Setelah bekerja bertahun-tahun di perusahaan konstruksi, Pak Agus mendadak di-PHK karena perusahaannya bangkrut. Tabungan mereka menipis, sementara enam anak butuh biaya sekolah. Motor dijual, barang-barang rumah digadaikan, bahkan sertifikat rumah dijaminkan ke bank.
“Waktu itu Bu Sri sudah benar-benar putus asa,” kata Bu Mia mengenang. “Dia sempat bilang ke saya, ‘Kalau nggak ada keajaiban, anak-anakku bisa nggak sekolah lagi.’”
Tak lama setelah itu, Bu Sri datang membawa kabar mengejutkan ia dan suaminya akan pergi ke Gunung Kawi, tempat yang terkenal dengan ritual pesugihan. Meski Bu Mia sudah berulang kali melarang, mereka tetap berangkat dengan alasan ingin “mencari rezeki lewat jalur spiritual.”
Gunung Kawi, di Malang, bukan sekadar tempat wisata spiritual. Di sanalah banyak orang datang untuk “menarik kekayaan” dengan cara yang tak terlihat. Dalam tradisi Jawa, mereka menyebutnya nyupang rezeki, meminjam harta ghaib dari makhluk halus penjaga gunung. Namun setiap perjanjian selalu memiliki harga tumbal nyawa dari keluarga sendiri.
Bu Mia masih ingat hari mereka berangkat pagi-pagi buta, Bu Sri datang berpamitan sambil menitipkan anak-anak. “Dia bilang, ‘Saya mau ke Gunung Kawi, Ceu. Titip anak-anak ya. Kalau saya nggak pulang, tolong jaga mereka.’”
Seminggu kemudian, Bu Sri dan suaminya kembali dengan wajah segar dan senyum lebar. Tapi di hari yang sama, ibu kandung Bu Sri meninggal mendadak dengan bekas jeratan di leher. Sejak itu, hidup keluarga mereka tak pernah sama lagi.
Hanya dalam hitungan minggu, kehidupan keluarga itu berubah drastis. Rumah mereka direnovasi besar-besaran, motor-motor baru berjejer di garasi, perabotan mahal dibeli tunai.
Bu Mia yang penasaran pernah diajak Bu Sri untuk “melihat sendiri rahasianya.” Malam itu, ia diminta menginap. Sekitar tengah malam, terdengar suara aneh dari kamar Bu Sri. “Ada suara mengaung dan langkah berat,” kata Bu Mia. “Saya memberanikan diri mengintip lewat lubang kunci.”
Apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Di dalam kamar, Bu Sri tidur bersama sosok tinggi besar, berbulu lebat, bermata merah menyala seperti makhluk setengah manusia setengah jin. Sosok itu menindih Bu Sri sambil bernafas berat, dan udara kamar bergetar oleh hawa dingin.
“Saya sampai gemetar dan cuma bisa baca doa. Saya yakin itu bukan manusia,” katanya dengan wajah pucat.
Keesokan paginya, Bu Sri bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Saat ditanya siapa yang tidur bersamanya, ia menjawab datar, “Suami baruku. Orangnya ganteng. Kalau aku bisa bikin dia puas, apapun yang aku minta pasti dikasih.”
Sejak malam itu, kekayaan mereka mengalir seperti air. Bu Sri membeli perhiasan, pakaian baru, dan bahkan rumah di pinggir jalan untuk dijadikan kantor. Suaminya pun membeli mobil dan membuka usaha makanan ringan.
Tiap malam Jumat, rumah mereka ramai oleh aroma kemenyan. “Pintu kamarnya dikunci, dan tak boleh ada yang masuk,” ujar Bu Mia. Kadang terdengar suara langkah kaki berat dan dentuman dari dalam rumah. Tetangga lain juga sering melihat anak kecil menyerupai tuyul berlarian di sekitar rumah, masuk tanpa membuka pintu.
Namun kekayaan itu datang bersama kutukan. Setiap tahun, ada saja anggota keluarga yang meninggal atau hilang secara misterius.
Korban pertama adalah ibu kandung Bu Sri, yang meninggal pada hari mereka pulang dari Gunung Kawi. Setahun kemudian, keponakannya meninggal mendadak tanpa sebab. Tahun berikutnya, adiknya tewas secara misterius di rumah.
Anak pertama Bu Sri menikah, tapi tak lama kemudian suaminya meninggal tanpa sakit. Anak keduanya pun mengalami hal serupa suaminya hilang tanpa jejak setelah “dijemput tiga orang tak dikenal.” Polisi tak pernah menemukan jasadnya. Kedua anak perempuan itu akhirnya mengalami gangguan jiwa dan dirawat di rumah sakit.
“Setiap tahun selalu ada yang meninggal,” ujar Bu Mia dengan lirih. “Kalau dihitung, totalnya lima orang. Dan semuanya masih ada hubungan darah.”
Setelah kehilangan anak dan menantu, Bu Sri mulai sakit-sakitan. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan kamar tidurnya mulai berbau busuk. Ketika Bu Mia memaksanya ke dokter, hasilnya nihil tak ada penyakit medis. Hingga suatu pagi, Bu Sri ditemukan meninggal di kamarnya, tubuhnya penuh cakaran di punggung dan bahu, dan bau menyengat memenuhi ruangan.
“Waktu dimandikan, orang-orang teriak. Tubuhnya membusuk cepat sekali, padahal baru beberapa jam,” kata Bu Mia.
Tak lama setelah itu, Pak Agus pun meninggal dengan kondisi mengenaskan. Wajahnya hitam legam, dan menurut warga yang memandikan, bagian kemaluannya rusak parah tanda kematian akibat gangguan makhluk ghaib.
Rumah mereka akhirnya kosong. Perabotan dijual, mobil lenyap, dan anak-anak mereka pindah jauh dari lingkungan itu. Dua anak perempuan dirawat di rumah sakit jiwa, sementara empat anak laki-laki menghilang dari kabar. Rumah megah yang dulu berdiri megah kini runtuh dimakan waktu, penuh debu, lumut, dan cerita angker.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.