Di sebuah kampung di Cirebon, kisah Bu Sekar masih sering dibicarakan dengan nada lirih. Perempuan yang dulu dikenal tabah itu, pada akhirnya menempuh jalan berbahaya demi ambisi dan dendam yang bercampur dengan himpitan ekonomi. Ia terjerumus ke dalam pesugihan Maung Bodas, sebuah jalur mistik yang konon bisa mendatangkan harta miliaran rupiah, namun syaratnya adalah tumbal nyawa.
Semua berawal dari rumah tangga yang retak. Suaminya dikenal keras, temperamental, dan gemar bermain kasar. Kehidupan ekonomi keluarga pun tak pernah stabil. Setiap hari Bu Sekar harus mencari cara agar dapur tetap berasap, sementara rasa sakit hati menumpuk karena perlakuan suami. Dari sinilah muncul bisikan gelap menyingkirkan sang suami dengan jalan ghaib.
Bu Sekar kemudian diperkenalkan pada sebuah lingkaran yang terdiri dari Nyai, Pak Dadang, Kang Asep, dan Abah Toha. Mereka bukan sekadar teman, tapi orang-orang yang juga terjerat oleh ambisi harta. Bersama-sama, mereka sepakat membiayai ritual Maung Bodas dengan tujuan agar harta pesugihan bisa dibagi rata. Jumlahnya bukan main, disebut-sebut bisa mencapai 10 miliar rupiah.
Ritual pertama dilakukan di sebuah rumah kosong yang konon sudah lama dijadikan tempat pemanggilan makhluk ghaib. Malam itu, dupa mengepul pekat, bunga tujuh rupa ditebar, dan kain kafan terbentang di atas dipan kayu. Bu Sekar duduk bersila, membacakan wirid dengan suara bergetar. Dalam hati, ia hanya berharap satu hal suaminya lenyap, dan jalan menuju kekayaan terbuka.
Namun, hasilnya mengejutkan. Suami yang menjadi target tumbal justru tidak mati. Setiap kali musibah mendekat, ia selalu selamat. Bahkan ketika kecelakaan parah membuatnya amnesia, nyawanya tetap bertahan. Belakangan diketahui, sang suami memang memiliki banyak jimat dan khodam pelindung, termasuk kulit macan bertuliskan rajah yang membuatnya kebal dari serangan ghaib. Sementara itu, kambing-kambing yang dijadikan tumbal habis tercabik makhluk ghaib, seolah menjadi ganti dari nyawa manusia yang gagal diambil.
Ketika semua pihak mulai ragu, Abah Toha menenangkan mereka. Ritual harus tetap diteruskan, katanya, sebab “janji ghaib” sudah terucap. Jika berhenti di tengah jalan, risikonya bisa lebih besar. Maka Bu Sekar pun melanjutkan.
Suatu malam, di tengah wirid yang panjang, kamar gelap itu diguncang seperti gempa kecil. Asap dupa semakin tebal, udara menjadi dingin menusuk. Dari dalam kegelapan muncul sosok menyerupai harimau putih raksasa. Matanya merah, bulu tubuhnya berkilau pucat. Sosok itu duduk tanpa kata, menatap tajam, lalu tiba-tiba lenyap menjadi asap. Sesaat kemudian, segepok uang jatuh di atas kain kafan. Tubuh Bu Sekar bergetar hebat. Ritual berhasil.
Keesokan harinya, uang itu diuji di Bandung. Mereka membeli sembako, rokok, dan kebutuhan lain. Anehnya, uang tersebut laku seperti uang biasa. Kegembiraan meluap, keyakinan bertambah, meski jumlahnya belum penuh. Dari hasil pembagian, Bu Sekar mendapat sekitar 300 juta rupiah. Ia langsung membeli rumah kecil dan motor baru untuk anaknya.
Namun, uang dari pesugihan ternyata tidak pernah membawa ketenangan. Tiga bulan setelah rumah dan motor terbeli, musibah datang. Anak laki-lakinya mengalami kecelakaan parah. Kakinya cacat permanen, motor rusak, biaya rumah sakit menguras habis harta. Seolah belum cukup, kabar buruk terus berdatangan. Kang Asep, yang paling banyak menggunakan uang pesugihan, meninggal mendadak dalam kecelakaan motor. Pak Dadang jatuh sakit keras hingga lumpuh. Abah Toha, sang dukun yang memimpin ritual, meninggal misterius di rumahnya. Nyai yang dulu begitu yakin pada pesugihan kini terbaring sakit-sakitan, tubuhnya lemah seperti dihisap energi tak kasatmata.
Sementara itu, suami Bu Sekar tetap hidup. Meski ditumbalkan berkali-kali, ia tetap selamat, bahkan semakin mapan dengan bisnis ilegal yang ia jalankan bersama istri barunya. Ironisnya, Bu Sekar yang dulu ingin menyingkirkannya justru jatuh miskin kembali. Rumah hasil pesugihan akhirnya dijual untuk biaya hidup, dan ia kini hanya mengandalkan warung kecil untuk menafkahi anak cucunya.
Lebih menyeramkan lagi, anak-anaknya sering melihat sosok tinggi besar berdiri di kamar, menatap dari sudut gelap, seolah masih ada ikatan ghaib yang menuntut. Kadang terdengar suara auman samar di malam hari, membuat mereka tak bisa tidur. Energi pesugihan itu seakan tak pernah benar-benar hilang, terus menghantui keluarganya.
Kini, di usia senja, Bu Sekar hanya bisa menyesali perbuatannya. Dengan suara lirih, ia sering berkata bahwa uang yang datang secara instan tak pernah membawa berkah. Justru sebaliknya, menjadi sumber bencana yang merenggut kebahagiaan keluarganya. “Jangan pernah ikuti jalan saya,” ucapnya. “Uang dari pesugihan tidak ada yang langgeng. Semua hilang sekejap, meninggalkan musibah.”
Kisah Bu Sekar adalah pengingat bahwa pesugihan hanyalah lingkaran setan. Sekali masuk, sulit keluar. Harta yang dijanjikan memang datang, tapi selalu disertai dengan harga yang lebih mahal daripada nilainya. Harga itu bisa berupa kesehatan, kebahagiaan, bahkan nyawa orang-orang terdekat. Dan pada akhirnya, yang tersisa hanyalah penyesalan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.