Di deretan kios rest area Pantura, persaingan dagang begitu ketat. Setiap warung menjajakan menu yang hampir sama: ayam goreng, lele, nasi goreng, kopi, mi instan. Namun dari luar, tak ada yang bisa menebak rahasia di balik ramainya satu warung dan sepinya warung lain. Mbak Tia merasakannya sendiri ketika ia membeli sebuah warung di rest area Cirebon, hasil dari tabungan 80 juta setelah bekerja tiga tahun sebagai babysitter di Singapura.
Awalnya, ia optimis. Pemilik lama menunjukkan catatan pembukuan dengan omzet mencapai 25 juta per bulan. Harga over warung 40 juta ia bayar, sisanya untuk modal belanja dan gaji karyawan. Namun tiga bulan setelah berjalan, hasilnya jauh dari harapan. Warungnya sepi, pembeli lebih memilih warung tetangga meski menunya sama. “Paling banter sehari cuma sejuta. Kadang nombok buat gaji karyawan,” katanya.
Kekecewaan itu membuat Mbak Tia putus asa. Hingga seorang karyawannya, Siti, menawarkan solusi mengenalkan Mbak Tia pada seorang Abah, orang pintar yang konon bisa membuat warung ramai. Awalnya ia menolak, tetapi setelah berbulan-bulan merugi, ia menyerah. Abah datang malam Jumat, duduk bersila di dapur warung hingga tengah malam, membawa sebuah patung kecil berbentuk putri berbalut kain putih. “Simpan di laci uang. Itu penglaris,” kata Abah. Sejak saat itu, keanehan dimulai.
Malam itu juga, tiga bus pariwisata berhenti. Bukan di depan warung Mbak Tia, melainkan di sebelah. Namun para penumpang justru masuk ke warung Mbak Tia. Malam itu omzet melonjak drastis. Esoknya warung tetap ramai, bahkan dalam sepekan, penghasilannya tembus 4–5 juta per hari. Abah meminta syarat sederhana setiap pembeli pertama, uangnya dipisahkan, dimasukkan ke kotak kecil, lalu diserahkan setiap malam Jumat untuk dibagikan ke anak yatim piatu. “Katanya doa mereka yang bikin warung rame,” ujar Mbak Tia.
Namun lambat laun, Mbak Tia mulai menyadari ada yang tak beres. Ia sering melihat sosok perempuan bergaun putih mondar-mandir di parkiran warung, menatapnya dengan senyum samar. “Itu putri penjaga patung,” jelas Abah. Sejak itu, warung Mbak Tia memang semakin ramai. Omzetnya naik hingga 10 juta sehari. Ia bisa membeli motor dan memperluas warung dengan membeli kios sebelah.
Tapi di balik keberhasilan itu, datang pula gangguan. Karyawan melihat bayangan hitam masuk dapur tengah malam, mendengar langkah kaki meski warung kosong, hingga melihat sosok perempuan duduk di atas kulkas. Satu per satu karyawan jatuh sakit pusing, demam, bahkan ada yang kesurupan sambil berteriak membenci Mbak Tia. Abah mengatakan itu ulah pesaing dagang yang juga “beli” dukun untuk menghancurkan usahanya.
Gangguan makin parah. Sosok hitam besar, botak, bertaring, sampai makhluk kerdil muncul menindih tubuh Mbak Tia ketika ia tidur. Ia tak bisa bergerak, hanya merasakan panas di seluruh badan. Selama tiga malam berturut-turut makhluk itu mencoba masuk ke dalam tubuhnya. Karyawan pun ketakutan dan memilih berhenti. Warung yang tadinya ramai kembali sepi, omzet anjlok, dan Mbak Tia harus menjual warung serta mobilnya untuk menutup kerugian.
“Dua tahun saya bertahan, tapi akhirnya habis juga. Kembali ke nol,” katanya. Kini Mbak Tia memilih membuka usaha kecil di Jogja tanpa campur tangan dunia gaib. Ia menyesali keputusannya dulu, meski mengaku pengalaman itu membuatnya sadar bahwa jalan pintas lewat jin dan pesugihan tak pernah membawa kebaikan.
“Awalnya saya senang, warung ramai. Tapi ujungnya bangkrut, karyawan sakit, saya sendiri diganggu. Lebih baik usaha biasa saja, meski kecil tapi berkah,” pesannya.
Di rest area tol, persaingan warung memang sengit. Banyak cara ditempuh, bahkan sampai adu dukun dan pesugihan. Namun kisah Mbak Tia menjadi peringatan: rezeki instan selalu ada bayaran. Cepat datang, cepat pula hilang, meninggalkan jejak ketakutan dan penyesalan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.