Di antara kabut dingin Tarutung, Tapanuli Utara, seorang pria berusia tiga puluhan yang tubuhnya tampak sehat, tapi di balik lengannya tersimpan luka lama luka akibat kesepakatan kelam yang pernah ia buat tujuh tahun silam perjanjian kawin ghaib dengan siluman ular demi kekayaan instan.
Namanya Bang Gabe, warga asli Medan yang kini hidup sederhana sebagai petani kemenyan. Namun di balik ketenangan wajahnya, tersimpan trauma panjang yang nyaris merenggut nyawa dan akal sehatnya. “Saya dulu enggak percaya hal-hal kayak gini, tapi setelah ngalamin sendiri, saya sadar setan itu nyata, dan manusia bisa kalah kalau hatinya kotor,” ujarnya membuka cerita.
Sebelum semua terjadi, kehidupan Bang Gabe tampak normal. Ia bekerja sebagai satpam di perusahaan gas bumi di Onon Kasang, Tapanuli Utara. Gajinya cukup untuk hidup bersama orang tua. Namun segalanya berubah setelah ia menikah dengan perempuan nonmuslim di Palembang anak pendeta yang akhirnya membuatnya berpindah keyakinan.
Keputusan itu ditentang keras oleh ibunya yang mualaf. “Mamak bilang, sampai mati pun enggak bakal restui,” kenangnya. Tapi Bang Gabe tetap menikah dan menjalani hidup barunya.
Tahun-tahun awal pernikahan berjalan lancar, tapi setelah kelahiran anak pertama, tekanan mulai datang dari keluarga mertuanya. Mereka menuntut renovasi rumah, biaya kuliah adik ipar, dan gaya hidup yang makin tinggi. Gaji Bang Gabe yang pas-pasan tak lagi cukup. “Saya merasa kayak sapi perah. Semua saya tanggung sendiri,” katanya.
Ketika usahanya gagal dan ibunya jatuh sakit, utang menumpuk. “Saya dikejar-kejar orang, gagal panen, dan tiap malam mamak marah. Rasanya dunia sudah enggak adil.” Dari titik terendah itu, pikirannya mulai gelap: ia ingin kaya, secepatnya, dengan cara apa pun.
Lewat teman lama bernama Rico, Bang Gabe diperkenalkan kepada Opung Ronggur, seorang dukun tua di Porsea yang terkenal bisa memanggil “penjaga uang ghaib.” Meski sempat ragu, Bang Gabe akhirnya datang. Dukun itu langsung tahu maksud kedatangannya. “Kau mau uang cepat,” katanya datar. “Kau pulang dulu. Kalau sudah yakin, balik lagi. Tapi ingat, yang kau minta pasti datang, asal kau sanggup menanggung akibatnya.”
Dua hari kemudian, Bang Gabe kembali kali ini dengan tekad bulat. Di rumah kayu tua itu, ia dimandikan air kembang dan diberi bungkusan hitam berisi tanah dan rambut. “Tanam di belakang rumahmu, kasih dupa, kasih sesajen, nanti dia datang,” pesan Opung Ronggur.
Malam Jumat, Bang Gabe menanam bungkusan itu. Ia bakar menyan dan duduk diam di ruang tamu. Tak lama, jendela berguncang. Bau anyir bercampur dupa menyelimuti ruangan. Dari arah kamar mandi terdengar desis panjang, diikuti sosok tinggi berbulu, rambut panjang menutupi wajah. “Saya keringat dingin, tapi saya ingat pesan Opung: jangan takut, ikuti saja.”
Sosok itu mendekat, mengelus pahanya tiga kali, lalu menghilang. Malam berikutnya, ia datang lagi dalam mimpi, memintanya ke Tarutung, ke tempat yang kini dikenal sebagai kantor pemerintahan. Di situlah Bang Gabe bertemu langsung dengan sosok itu dalam wujud manusia perempuan cantik berbusana adat Batak, bersanggul, dan menatap dengan mata berkilau seperti sisik ular.
Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Nyai, penjaga tanah leluhur. Ia meminta kamar Bang Gabe dikosongkan dan dipasangi seprai putih. “Dia bilang ingin bersama saya malam itu,” ujar Bang Gabe lirih.
Dengan pikiran yang sudah dikuasai, Bang Gabe menurut. Setelah anak dan istrinya dipindahkan tidur di ruang tamu, ia masuk ke kamar yang sudah harum bunga kantil. Sosok wanita itu muncul, tersenyum, dan tanpa sadar Bang Gabe berhubungan badan dengannya.
“Awalnya saya pikir mimpi,” katanya. “Tapi waktu bangun, badan saya dingin, dan istri saya buka bantal uang berhamburan, pecahan seratus lima puluh ribu.”
Sejak malam itu, setiap dua minggu sekali, Nyai datang. Tiap kali selesai “berhubungan,” uang muncul di bawah bantal. Dalam tiga bulan, total lebih dari 180 juta rupiah ia terima. “Saya jadi malas kerja, malas ke ladang. Istri enggak curiga karena saya bilang menang game online.”
Namun semua berubah di malam keenam ritual. Istrinya yang sedang hamil tua akhirnya curiga dan pura-pura tidur. Tepat tengah malam, ia melihat pintu kamar bergetar. Dari celahnya, terlihat Bang Gabe bersetubuh dengan sosok ular besar berambut panjang.
“Istri saya mau teriak tapi enggak bisa,” katanya. “Dia cuma nangis, gemetar.” Setelah ritual selesai, rumah langsung rusuh. Istrinya marah besar, menuduhnya gila. “Kau pilih, aku atau siluman itu!” teriaknya.
Bang Gabe mengira semuanya selesai ketika ia berhenti melakukan ritual. Tapi dua bulan kemudian, tubuhnya panas setiap malam, kepala seperti terbentur tembok, dan tiap kali mandi air berubah bau amis. Saat mendatangi Opung Ronggur, ia hanya mendapat jawaban dingin “Itu resiko kau. Aku cuma nunjuk jalan. Kau yang buat janji, bukan aku.”
Dari malam ke malam, siluman itu datang dalam mimpi, menagih pernikahan ketujuh. “Kalau hari itu saya nikah sama dia, mungkin saya enggak akan hidup,” ujarnya. Tapi penolakan itu berbuah dendam.
Beberapa bulan kemudian, anak ketiganya lahir sehat, tapi di punggungnya muncul sisik halus seperti ular. “Saya tahu itu tanda dari dia,” katanya menahan air mata. Sepuluh hari kemudian, bayi itu meninggal dunia.
“Saya nangis, minta ampun. Istri saya cuma bilang, ‘Tanggunglah dosamu.’”
Sejak saat itu, Bang Gabe memutuskan bertobat. Ia kembali memeluk Islam, belajar di pondok pesantren Palembang selama dua tahun, dan menjalani rukiah berat. “Waktu dirukiah, badan saya panas kayak terbakar. Tapi setelah itu, saya merasa tenang,” katanya.
Dari proses tobat itu, ia menemukan sebongkah batu kecil saat berwudu. “Buya bilang simpan saja, jangan sombong. Itu tanda kau sudah diampuni,” ujarnya. Kini batu itu ia simpan bersama tasbih peninggalan gurunya.
Kini, Bang Gabe hidup sederhana bersama istrinya yang sudah kembali mualaf. Mereka dikaruniai anak keempat yang sehat. “Semua uang dari pesugihan itu habis. Enggak ada berkahnya. Habis begitu saja,” katanya.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.