Sekitar tahun 2010, di sebuah toko bunga di Kota Cirebon, seorang pemuda bernama Mas Aab menjalani hari-harinya sebagai karyawan termuda. Hidupnya tidak mudah. Senior-senior di toko sering memperlakukannya dengan kasar, sementara sang pemilik toko kerap menyalahkan hal-hal kecil yang sebenarnya sepele. Malam hari ia harus bekerja menyiapkan rangkaian bunga untuk hotel, pesta pernikahan, atau karangan dukacita, lalu dini hari mengantar pesanan ke luar kota bersama sopir bernama Pak Ipung. Di balik aroma bunga yang semerbak, hidup Mas Aab penuh tekanan dan rasa terjepit.
Sampai suatu hari, di tengah perjalanan mengantar bunga, Mas Aab dan Pak Ipung dihadang beberapa pemuda di Indramayu. Mereka meminta uang parkir, tapi jumlahnya tidak masuk akal. Uang 10 ribu yang disodorkan Mas Aab justru diremas dan dilemparkan ke wajahnya. Ketika ia protes, sebuah toyoran keras mendarat di kepalanya. Rasa sakit dan amarah bercampur jadi satu. Sejak saat itu, ia merasa muak diperlakukan sewenang-wenang. Hidup sebagai karyawan kecil tak memberinya wibawa, sementara di jalanan ia kerap jadi sasaran pemerasan.
Pak Ipung, sopir yang lebih tua dan sering menemaninya, pernah berujar lirih, “Makanya, anak muda tuh harus diisi. Biar berani, biar kebal.” Kata-kata itu terngiang-ngiang dalam kepala Mas Aab. Rasa penasaran bercampur dengan dendam membuatnya akhirnya mengikuti langkah Pak Ipung menuju rumah seorang abah sepuh di daerah selatan Cirebon. Di sanalah ia memulai ritual berat untuk mendapatkan ilmu kebal Kayu Sembah.
Tujuh hari tujuh malam Mas Aab ditempa dengan tirakat puasa mutih, hanya makan tiga kepal nasi dan air putih setiap magrib. Malam-malamnya ia jalani dengan wirid tanpa tidur, mulutnya terus melafalkan “Yasirullah, Wujudiullah, Lailahaillallah, Muhammadur Rasulullah.” Tubuhnya lemas, tetapi matanya dipaksa tetap melek. Malam keempat, sosok hitam tinggi bermata merah muncul dari kepulan asap di balik kain pintu. Malam keenam, cahaya putih menembus atap bilik dan menjelma nenek-nenek berambut panjang dengan baju serba putih, membawa sisir dan cermin sambil tertawa melengking. Mas Aab menggigil, tapi terus melafalkan wirid hingga makhluk itu menghilang.
Malam terakhir, terdengar tiga kali bunyi benda jatuh dengan suara ter… ter… ter… Di hadapannya, lalu muncul sebilah kayu kecil berukuran 4×4 cm. Ketika disentuh, kayu itu panas menyengat, namun kemudian berubah wangi seperti dupa bunga. “Itu namanya Kayu Sembah,” kata sang abah. “Dengan ini, tubuhmu akan kebal dari senjata, lawan akan tunduk, bahkan hewan bisa nurut padamu.” Mas Aab pun pulang membawa jimat tersebut, tak menyadari bagaimana hidupnya akan berubah.
Ilmu kebal itu benar-benar bekerja. Ketika suatu malam ia kembali dihadang preman dengan golok besar, bacokan demi bacokan melayang tapi tak meninggalkan luka sedikit pun. Tubuhnya terasa seperti botol Aqua kosong, ringan tanpa rasa sakit. Saat emosi memuncak, ia menendang dada lawannya hingga terjungkal, golok terlepas, dan para preman ketakutan sampai memohon ampun. Dari situlah nama Mas Aab mulai dikenal, bukan lagi sebagai karyawan bontot toko bunga, tapi pemuda kebal yang disegani.
Bukan hanya manusia, bahkan anjing Doberman milik salah satu pelanggan Tionghoa yang biasanya galak, tiba-tiba tunduk menunduk ketika Mas Aab masuk halaman. Ia juga sempat membuktikan kekuatannya di arena sabung ayam, melindungi temannya dari kecurangan, bahkan membuat lawan-lawannya mundur ketakutan ketika pukulan demi pukulan tak mempan. Kayu Sembah menjadikannya sosok yang berbeda: berani, ditakuti, sekaligus liar dalam amarah.
Namun kekuatan itu lambat laun membawa kejenuhan. Hidupnya dipenuhi kekerasan, konflik, dan rasa ingin pamer. Ia menyaksikan teman-temannya berpacaran, membangun keluarga, sementara dirinya masih berkutat dengan perkelahian. Amarahnya makin sulit dikendalikan. Hingga akhirnya ia mulai berpikir untuk melepaskan ilmu tersebut. Abah yang dulu membimbingnya sudah wafat, membuatnya bingung mencari jalan keluar.
Pertemuan dengan seorang ustaz bernama Budi menjadi titik balik. Mas Aab menceritakan segalanya dan menunjukkan Kayu Sembah yang selalu ia bawa. Sang ustaz menasihati agar ia menyimpannya di tempat yang tak bisa dijamah orang, berhenti merawatnya dengan minyak misik, dan menggantinya dengan istighfar setiap selesai salat. “Kekuatan sejati bukan dari kayu itu, tapi dari Allah. Kalau kamu pasrah, hati kamu akan lebih kuat daripada kebal senjata,” kata Ustaz Budi.
Sejak saat itu, Mas Aab merasa lebih tenang. Amarahnya mereda, emosinya terkendali, dan ia mulai menata hidup kembali. Ia mendirikan usaha dekorasi bunga kecil-kecilan bersama istrinya, melayani pesta pernikahan dan dukacita dengan cara halal. Ilmu kebal Kayu Sembah ia tinggalkan, diganti dengan wirid dan doa.
Kini, Mas Aab menilai pengalamannya sebagai pelajaran pahit. “Ilmu kebal itu mungkin bermanfaat di zaman dulu. Tapi sekarang percuma. Lebih baik kerja keras, usaha yang halal. Itu yang benar-benar bikin kita kuat,” ujarnya menutup kisah.
Di balik kisah tukang bunga yang dulu sering dibully hingga berani melawan preman, tersimpan pesan bahwa jalan mistis tak pernah membawa kebahagiaan sejati. Karena keberanian sesungguhnya bukanlah kebal dari bacokan, tapi berani menghadapi hidup dengan jujur, sabar, dan ikhlas.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.