Di rak sebuah kontrakan tua di Cirebon, sebuah majalah lusuh menjadi sumber malapetaka. Halaman demi halaman berisi alamat, tata cara, dan mitos pesugihan di berbagai pelosok Jawa. Bagi bos toko emas dan berlian yang uangnya sudah tak berseri, majalah itu adalah peta harta terlarang. Ia punya segalanya rumah megah, mobil mewah tetapi hatinya masih haus. Dan untuk menjajal semua ritual di majalah itu, ia butuh seorang “pendamping”. Kang Daud tetangga kontrakan yang polos menjadi pilihannya.
Pada saat tahun 2006 Bosnya mengajak Kang Daud “liburan” ke Cilacap. Ternyata tujuan mereka bukan pantai untuk bersantai, melainkan sebuah gua yang disebut di majalah. Di warung tepi pantai milik seorang kakek yang dipanggil Mbah, bosnya memesan sesaji nasi tumpeng, ayam bekakak, lauk lengkap, semuanya seharga Rp500 ribu. Ritual dijadwalkan malam berikutnya.
Saat malam ritual air pasang membuat mereka menyeberang dengan sampan. Kang Daud membawa nampan sesaji masuk ke dalam gua. Ruangan besar di dalamnya gelap gulita, hanya sesekali terlihat batu besar yang disebut Batu Banteng. Mbah memimpin doa, lalu meninggalkan bos dan Kang Daud berdua. Ketika ritua ada larangan yang disampaikan Abah jangan menyalakan api, jangan berbicara, apapun yang terjadi, hadapi.
Awalnya hening. Lalu, hembusan angin berputar. Dalam gelap, sesuatu yang dingin dan lembek menyentuh punggung Kang Daud. Saat diraba ternyata ular besar. Bos panik, menyalakan lilin. Cahaya itu mengungkap ular raksasa berwarna cokelat kekuningan, sebesar paha orang dewasa. Lidahnya menjulur, matanya mengawasi. Dua kali ular itu mengitari Batu Banteng sebelum menghilang.
Mbah kemudian mengatakan:
“Itu ujian. Kalau kalian diam, akan berhasil. Tapi kalian gagal.”
Tak mau pulang dengan tangan hampa, bos bertanya cara lain. Mbah menawarkan ritual kedua yang lebih berat di sebuah pemakaman umum. Kali ini butuh “tumbal” berupa musuh, lebih baik jika masih ada hubungan darah.
Bos memilih sepupu jauhnya sebagai tumbal. Foto perempuan itu dicetak, namanya ditulis di belakang, lalu diletakkan di sesaji. Tiga nampan disiapkan untuk bos, Kang Daud, dan seorang teman bernama Fandi.
Saat jam 10 malam, mereka duduk di tanah kosong di tengah makam, sesaji di depan. Mbah menyalakan dupa, lalu pergi. Hening. Suara ombak dari arah pantai 100 meter mengiringi. Tiba-tiba, dua sosok putih pocong muncul seperti mayat terikat biasanya, tapi memegang obor. Mereka berjalan mengitari tiga pria itu berulang kali sebelum menghilang.
Belum reda kaget, suara gamelan terdengar pelan lalu semakin nyata. Dalam samar, terlihat penabuh dan penari. Rumput yang mereka duduki berubah menjadi kuning berkilau seperti emas, dan di depan mereka muncul tiga karung goni serta guci tanah liat.
Dari sisi kiri, seorang perempuan mendekat sambil menangis:
“Kamu jahat… kenapa tega sama aku?”
Wajahnya sama dengan foto di sesaji. Ia meraih tangan bos, menggigitnya, sementara dua sosok lain mencoba membawa karung. Karung terlepas, guci menghilang, rumput kembali seperti semula.
Bos kembali duduk, menunjukkan bekas gigitan di lengannya. Hujan turun deras. Gamelan lenyap. Pukul tiga dini hari, Mbah menjemput mereka.
Mbah menjelaskan, jika bos mampu menahan korban tetap di tempat hingga akhir, harta akan berpindah padanya. Tapi gigitan itu membuatnya lepas dan akhirnya ritual gagal lagi.
“Yang pertama di gua sebenarnya hampir berhasil, tapi ujian ular membuat kalian gagal. Yang kedua ini pun gagal. Kalau mau ulang, harus menunggu bulan depan, dihitung hari baiknya,” jelas Mbah.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.