Di lereng Gunung Kawi, di tengah kabut pekat dan aroma dupa yang menyesakkan, masih berdiri rumah-rumah ritual yang menjadi saksi perjanjian gelap antara manusia dan makhluk halus. Tempat ini bukan sekadar lokasi wisata spiritual, tapi juga “pasar ghaib” tempat orang-orang menukar doa dengan darah, kekuasaan dengan nyawa.
Kisah ini datang dari Teh Sarah, mantan pengusaha seblak yang dulu terkenal karena pesugihan kekayaannya. Namun kali ini, ia tak menceritakan tentang dirinya melainkan tentang keluarganya sendiri yaitu pamannya, seorang kepala desa (kuwu), yang nekat melakukan ritual pesugihan jabatan di Gunung Kawi, lengkap dengan tumbal manusia anak kandungnya sendiri.
Tahun 2015, saat karier Teh Sarah tengah naik, ia menerima telepon dari kampung. “Neng, pulang ya, keluarga kumpul,” begitu pesan bibinya. Ia tak curiga sedikit pun. Namun sesampainya di rumah, suasananya mencekam. Semua keluarga besar berkumpul dan topik yang dibicarakan bukan silaturahmi, melainkan pemilihan kepala desa.
Pamannya, Mang Asep, ingin maju lagi setelah lima tahun menjabat. Tapi kali ini, ia punya lawan. “Katanya mau tirakat,” ujar Teh Sarah. “Saya pikir doa biasa. Ternyata ritualnya bukan di rumah, tapi di Gunung Kawi.”
Mereka berangkat subuh, berkonvoi ke arah Malang. Perjalanan panjang itu membawa Teh Sarah pada pemandangan yang sudah sangat familiar gerbang besar bertuliskan “Gunung Kawi”, tempat ia sendiri dulu melakukan pesugihan kekayaan. “Saya pura-pura nggak tahu,” katanya. “Tapi saya langsung sadar keluarga saya juga sudah masuk lingkaran yang sama.”
Sesampainya di sana, mereka menuju rumah seorang mbah juru kunci yang tinggal dekat area pasarean. Rumah itu penuh dupa dan sesajen. Hanya tiga orang yang masuk ke ruang utama Mang Asep, istrinya Bu Entin, dan pemandu mereka. Teh Sarah menunggu di teras bersama bibinya yang lain, tapi bisa mendengar percakapan samar dari dalam.
“Mau nyalonin lagi, biar menang tanpa saingan,” kata sang juru kunci.
“Bisa, asal siap nerima akibatnya,” jawab suara tua dari dalam.
Syaratnya mengerikan: Kelapa gading, bunga tujuh rupa, burung gagak hitam, dan kambing gendit kambing hitam dengan garis putih sempurna di punggungnya. Syarat terakhir hampir mustahil, tapi anehnya, semuanya berhasil mereka dapatkan dalam waktu tiga hari.
Malam ritual tiba. Mereka mendaki hutan Gunung Kawi hingga mencapai dua batu besar di tengah pepohonan lebat. Di sanalah Mang Asep dan istrinya duduk berhadapan, sementara juru kunci membacakan mantra. Teh Sarah dan dua orang lainnya menonton dari jarak 50 meter.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam ketika udara berubah. “Angin berhenti, tapi hawa tiba-tiba dingin seperti dari dalam kubur,” kata Teh Sarah. Dari balik kabut muncul makhluk raksasa setinggi pohon, berbulu hitam, bertanduk, dengan mata menyala merah.
“Saya pikir bayangan pohon, tapi dia jongkok di depan paman saya,” kenangnya. “Saya cuma bisa gemetar.”
Makhluk itu berbicara dengan suara berat seperti petir. Tak ada yang tahu apa yang ia katakan, tapi sesudahnya, seekor babi hitam muncul dari kegelapan, memakan semua sesajen, lalu buang air di tempat persembahan.
Yang membuat Teh Sarah muntah ketakutan adalah apa yang terjadi berikutnya:
Pamannya dan bibinya makan kotoran babi itu dengan lahap. “Saya lihat sendiri,” katanya dengan suara bergetar. “Mereka seperti orang kerasukan. Setelah itu, tangan bibi saya berubah dingin dan halus seperti kulit ular.”
Saat ia menoleh, wajah bibinya berubah menjadi sosok Nyai makhluk laut setengah wanita, setengah ikan, bertanduk tajam. “Nduk, masih kuat nggak? Nggak mau ke Nyai lagi?” ucap sosok Nyai tersebut.
Tiga hari setelah pulang dari Gunung Kawi, mereka melanjutkan ritual di rumah. Sepuluh paranormal didatangkan, ayam putih dan hitam disiapkan, dan setiap sudut rumah dibakar menyan. “Katanya mau buka gerbang ghaib,” ujar Teh Sarah.
Tapi yang terjadi malam itu jauh di luar nalar manusia. Saat ayam putih disembelih, anak pertama Mang Asep menjerit kesakitan dari dalam rumah. Saat ayam hitam disembelih, anak bungsunya, Iroh, tiba-tiba jatuh dan meninggal di kamar mandi.
“Semua orang biasa aja. Cuma saya yang nangis,” kata Teh Sarah lirih. “Baru saya tahu, yang disembelih itu perwujudan anak-anaknya sendiri.”
Tubuh Iroh tak pernah dimakamkan di desa. Paranormal yang memimpin ritual membawa jasadnya pergi malam itu juga. Sejak itu, pamannya menang pemilihan dengan 85 persen suara mutlak mengalahkan dua calon lain yang seolah “menghilang dari kertas pemilihan.”
Namun perjanjian dengan makhluk Gunung Kawi tak berhenti di sana. Sebagai imbalan kekuasaan, Mang Asep diwajibkan menikahi gadis baru setiap enam bulan sekali. Bukan poligami biasa setiap istri muda akan meninggal setelah enam bulan, dan diganti yang baru.
“Dalam lima tahun menjabat, dia sudah menikah sepuluh kali,” kata Teh Sarah. “Semua istri meninggal dengan cara berbeda seperti kecelakaan, sakit mendadak, atau hilang.”
Istri tuanya, Bu Entin, justru yang membantu mencarikan korban baru. “Dia tahu setiap pernikahan artinya kematian, tapi dia tetap lakukan. Karena setiap kali istrinya mati, batu akik muncul di bawah bantalnya. Itu tanda keberhasilan tumbal,” ujar Teh Sarah.
Batu-batu itu dikumpulkan sepuluh totalnya, masing-masing berbeda warna dan bentuk. Setiap batu adalah simbol satu nyawa yang dikorbankan.
Menjelang akhir masa jabatannya, Mang Asep berniat mencalonkan diri lagi. Tapi kali ini, segalanya berbalik. Tumbal ke-11 yang ia siapkan ternyata bukan gadis perawan yang merupakan pelanggaran berat dalam perjanjian ghaib.
Beberapa hari kemudian, ia dan istrinya mengalami sakit aneh. Tubuh mereka kaku, mata terbalik, kulit melepuh seperti terbakar dari dalam. Paranormal dipanggil, tapi tak ada yang bisa menolong. “Saya lihat sendiri, tubuh mereka gemetar dan bau bangkai keluar dari kulitnya,” ujar Teh Sarah.
Mereka meninggal berselang tujuh hari tepat di waktu yang sama dengan ritual Gunung Kawi.
Menurut warga, jenazah mereka dimakamkan normal. Tapi bagi orang yang paham, yang dikubur bukan manusia, melainkan batang pisang karena arwah mereka sudah “diambil kembali” oleh makhluk penunggu Gunung Kawi.
Yang lebih mengerikan, menurut Teh Sarah, ritual seperti ini tidak hanya dilakukan oleh warga desa.
“Banyak artis dan pejabat juga ke sana,” katanya. “Saya lihat sendiri waktu di sana, orang-orang berduit datang pakai mobil mewah, membawa sesajen, bahkan gamelan. Ada yang nazar: ‘Kalau saya sukses, saya kasih sapi tiga, kambing sepuluh, pesta tiga malam.’”
Gunung Kawi memang dikenal lintas agama. Di satu sisi ada masjid kecil, di sisi lain berdiri wihara. Tapi di bawah permukaan, ada “pasar jiwa” tempat orang menukar nasib dengan perjanjian ghaib.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.