Terminal itu sudah tua. Cat temboknya mengelupas, bangkunya berkarat, dan aroma kopi pahit bercampur asap rokok menempel di udara. Malam itu, angin laut dari pesisir utara Jawa membawa hawa lembab.
Pak Ipung, seorang sopir minibus yang sudah puluhan tahun melintasi jalur Jawa, duduk di bangku panjang. Di depannya, cangkir kopi hitam mulai dingin. Ia tidak tahu, malam itu akan menjadi awal dari kisah yang kelak masuk berita nasional kisah yang melibatkan pesugihan, tiga karung uang, kematian misterius, dan api yang melahap segalanya.
Sekitar pukul 9 malam, pasangan suami istri muncul di terminal. Sang istri, wajahnya sembab seperti habis menangis. Sang suami, yang belakangan diketahui bernama Jaya, duduk di bangku sebelah Pak Ipung.
“Pak… di Jawa Tengah itu ada pesugihan, ya?” suara Jaya lirih, tapi nadanya penuh desakan.
Pak Ipung terdiam. Ia pernah mendengar, bahkan pernah mengantar orang ke sana. Tapi ia tahu resikonya. “Memang kenapa, Pak?” tanyanya datar.
“Usaha konveksi saya bangkrut… utang 1,2 miliar. Rumah dan pabrik hampir disita,” jawab Jaya, matanya tak lepas dari lantai.
Istrinya menunduk, sesekali mengusap mata. Pak Ipung menarik napas panjang. “Kalau mau… saya bisa bawa. Tapi syaratnya, harus dengan istri.”
Dua hari kemudian, malam pekat menelan jalanan ketika mobil rental Avanza putih yang mereka tumpangi meninggalkan Tegal. Awalnya mulus, sampai di daerah Bumiayu, ban mobil kempes. Saat mencari balok untuk mengganjal dongkrak, Pak Ipung membeku di depannya berdiri sosok menyerupai istri Jaya, tapi tubuhnya penuh bulu. Padahal, sang istri duduk di dalam mobil. Pak Ipung pura-pura tak melihat. Mereka melanjutkan perjalanan.
Di Ajibarang, ban kembali kempes di tengah hutan sunyi. Baut roda seakan terkunci tak mau dibuka, sampai tiba-tiba “sesuatu” yang menyerupai istri Jaya itu menghilang, dan baut bisa diputar.
Tiba di rumah nelayan tempat menginap, semua lelah. Tapi tak lama, istri Jaya berteriak matanya terpejam rapat, tubuhnya kaku. Seorang ustaz dipanggil, membaca doa dan memercikkan air ke wajahnya. Perlahan, napasnya tenang kembali.
“Kalau mau berhenti, ini saatnya,” kata ustaz itu.
Jaya menggeleng. “Saya sudah sampai sini. Harus lanjut.”
Pagi buta, mereka menyeberang dengan perahu. Ombak mengguncang, air hanya sejengkal dari bibir perahu. Pak Ipung melihat makhluk hitam melintas di bawah permukaan air. Ia memejamkan mata, membaca doa tanpa henti. Perjalanan yang biasanya 15 menit memakan hampir satu jam. Mereka mendarat di pantai sepi, pasirnya lembab, anginnya membawa aroma garam bercampur amis.
Malam harinya, “orang tua” kuncen pesugihan memimpin rombongan. Jalan setapak selebar bahu menembus alang-alang setinggi dada. Rumput basah menampar kaki, dan suara jangkrik bercampur desir angin. Setelah sampai di tempat pemujaan, sesaji disusun seperti kembang tujuh rupa, kelapa hijau, rokok kretek, air merah dan putih.
Pak Ipung membantu menata. Saat menoleh, ia melihat ular besar bermata merah melingkar di altar. Matanya menatap tajam, lidahnya menjulur perlahan.
“Sudah… jangan dilihat,” bisik kuncen sambil menarik lengannya.
Jaya ditinggal semalam di puncak bukit untuk ritual. Pagi harinya, kuncen memerintahkan Pak Ipung menurunkan tiga karung besar dari puncak ke bibir pantai. Beratnya luar biasa, seperti berisi logam. Setelah sampai di rumah kuncen, satu karung dibuka gepokan uang asli, rapi seperti dari bank. Karung ditutup kembali, Jaya dilarang pulang sebelum malam.
Beberapa hari setelah kembali ke rumah, tragedi terjadi. Anak perempuan Jaya yang masih SMP meninggal mendadak. Kulitnya biru melepuh, seperti terbakar dari dalam. Saat dikubur, tanah makam mengeluarkan bau menyengat. Makamnya sempat ambles dua kali, memuntahkan air keruh. Istrinya menangis tanpa henti. Jaya justru diam, seakan tahu ini bagian dari perjanjian.
Enam tahun berikutnya, Jaya hidup bergelimang harta. Rumahnya megah bergaya modern, pabrik konveksi kembali berdiri, mobil mewah berderet di garasi. Semua orang melihatnya sebagai sosok yang “bangkit dari keterpurukan”. Hanya Pak Ipung yang tahu, kekayaan itu punya batas waktu.
Suatu malam, Jaya datang ke rumah Pak Ipung, menangis.
“Waktunya saya harus menghadap Ibu. Tolong gantikan saya.”
Pak Ipung terkejut. “Saya tidak mau ikut jalan yang sama.”
Tak lama, Jaya jatuh sakit parah. Ia dirawat di rumah sakit besar di Jakarta, tapi tak sembuh. Ketika meninggal, tubuhnya membusuk cepat. Bau busuknya tembus masker berlapis kopi. Mandinya dilakukan oleh orang-orang yang dibayar mahal karena takut.
Selama tujuh malam berturut-turut, tepat pukul 12 malam, sosok hitam bermata merah berdiri di depan pintu rumah. Hanya istri Jaya dan Pak Ipung yang melihatnya.
Beberapa bulan setelah pemakaman, rumah megah dan pabrik konveksi Jaya terbakar habis. Api melahap semua mobil, mesin, barang. Tinggal satu motor untuk anaknya yang tersisa. Berita kebakaran itu masuk media nasional. Setelah itu, sang istri menghilang tanpa jejak.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.