Mas Jo dan Jaka adalah sahabat sejak kecil di Tegal. Meski berbeda usia, mereka sering bermain bersama, mengaji di sore hari, dan tumbuh dalam lingkungan sederhana. Setelah lulus SMA, Jaka memutuskan merantau ke Cikarang untuk bekerja di pabrik, berharap bisa mengubah nasib keluarganya yang hidup dalam kemiskinan.
Di perantauan, Jaka bertemu seorang perempuan yatim piatu yang bekerja di warteg. Karena rasa iba, ia meminangnya, lalu mereka tinggal di kontrakan sederhana. Kehidupan berjalan cukup baik, hingga Jaka dan istrinya dikaruniai anak perempuan bernama Kartini.
Saat Kartini berusia 6 tahun, Jaka memutuskan pulang ke Tegal dan membuka usaha warteg kecil di depan rumahnya. Usaha ini awalnya berjalan lancar, namun tragedi datang ketika Kartini mengalami kecelakaan di sungai dan kepalanya terbentur batu cadas. Sejak itu, Kartini kesulitan berbicara dan kesehatannya memburuk.
Jaka menghabiskan seluruh tabungan hasil kerja di pabrik untuk berobat, namun tidak membuahkan hasil. Ia mulai frustasi dan mencari cara lain untuk mendapatkan uang demi biaya pengobatan.
Dalam kebingungan, Jaka bertemu Kang Misja, seorang warga kaya yang menawarinya beternak kambing. Awalnya, usaha ini berjalan baik. Namun, suatu hari, Kang Misja memberikan tawaran yang mengubah segalanya: pesugihan.
Awalnya Jaka menolak, mengingat latar belakangnya yang religius. Tetapi kondisi anaknya yang tak kunjung sembuh membuatnya goyah. Ia akhirnya mendatangi seorang dukun yang dikenal Kang Misja untuk melakukan ritual pesugihan.
Syarat pesugihan tidak hanya berupa sesaji seperti kopi, susu, kelapa gading, dan ayam cemani, tetapi juga tumbal nyawa anaknya sendiri. Terdesak dan sudah terlanjur “deal” dengan dukun, Jaka tidak bisa mundur. Ia mulai melakukan ritual setiap malam Jumat di tempat angker, ditemani sosok gaib yang disebut “Nyai”.
Hasilnya terlihat cepat wartegnya semakin besar, ia bisa membeli kambing sendiri, dan uang mengalir deras. Namun, Kartini tetap sakit, bahkan mulai berperilaku aneh seperti menari sendiri dan tersenyum tanpa sebab.
Mas Jo, yang mengetahui perubahan sahabatnya, berusaha mempertemukannya dengan seorang ustaz untuk ruqyah. Namun, Jaka menolak keras karena sudah terikat dengan perjanjian gaib. Mas Jo pun mencoba salat istikharah dan mendapatkan “petunjuk” untuk menghentikan Jaka, tapi usaha itu sia-sia.
Pada suatu malam Jumat, Mas Jo mendapati Jaka sedang melakukan ritual di pinggir kali dengan keadaan setengah sadar. Ia mengaku sedang “bersama Nyai” dalam wujud hubungan gaib, sementara tubuhnya menari tanpa kendali.
Dalam waktu yang sama, Kang Misja kedapatan masuk ke rumah Jaka dan mencoba memperkosa istrinya. Warga yang datang mengamankan Misja kemudian mengetahui bahwa ia juga pelaku pesugihan, dengan ritual meniduri istri orang sebagai bagian dari perjanjiannya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, kondisi Kartini memburuk. Ia pingsan dan tak sadarkan diri hingga akhirnya meninggal. Jaka merasa kematian anaknya adalah akibat pesugihan yang dijalani. Depresi berat membuatnya tak mampu bertahan, dan ia pun meninggal tidak lama kemudian.
Istri Jaka, yang trauma berat, memilih merantau kembali. Sementara itu, Kang Misja dikucilkan warga dan kehilangan semua hartanya.
Kisah tragis ini menjadi peringatan bahwa pesugihan hanya membawa kesengsaraan. Kekayaan yang diperoleh dari perjanjian gaib hanyalah sementara, dengan harga yang sangat mahal nyawa orang yang dicintai.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.