Bagi Mas Iyep, tahun 2018 menjadi babak baru dalam hidupnya. Setelah menikah untuk kedua kalinya dan memiliki tiga anak, ia memutuskan untuk mandiri, meninggalkan rumah ibunya, dan mencari kontrakan sendiri. Tekad itu didukung sang istri, meski awalnya berat karena ibunya yang sudah sepuh sangat berharap ia tetap tinggal bersama. Setelah mendapat izin, ia mulai mencari rumah, hingga seorang teman memberi info tentang kontrakan besar dengan harga mencurigakan murah 300 ribu per bulan.
Rumah itu terletak di Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, hanya sepuluh menit dari rumah ibunya. Dari luar, bangunannya tampak wajar dua lantai, empat kamar, halaman luas, bahkan air dan listriknya lancar. Harga normal rumah seperti itu mestinya jutaan rupiah per bulan. Namun, Mas Iyep yang butuh tempat tinggal segera menyewa dengan perjanjian bulanan. Pak RT yang menjadi perantara hanya memberi satu pesan ada satu kamar yang tidak boleh digunakan.
Awalnya semua berjalan lancar. Anak-anaknya betah, usaha pertanian keluarga tetap jalan, dan pekerjaan tambahan justru makin deras. Dalam dua bulan pertama, rezeki seolah mengalir deras. Namun perlahan gangguan mulai muncul. Anak keduanya terluka aneh karena jatuh di pintu kamar, istrinya pingsan karena panik, dan malam-malam rumah dipenuhi suara-suara ganjil. Lebih dari itu, teman-teman yang awalnya suka mampir ngopi tiba-tiba berhenti datang. Saat ditanya, mereka mengaku melihat sosok tinggi besar bertaring di lorong dekat kamar mandi, atau seorang perempuan berwajah pucat seperti ratu di kamar terlarang.
Puncak gangguan terjadi ketika istrinya kesurupan, tiga anaknya bertingkah aneh. Ada yang menatap sudut kosong, ada yang tertawa tanpa sebab, ada yang menangis meraung sementara di dalam rumah terasa panas dan pengap. Mas Iyep mencoba melawan dengan doa dan wirid. Saat itulah ia merasakan kehadiran sosok perempuan anggun, berbau melati, yang memperkenalkan diri sebagai Ibu Ratu. “Kamu harus menjadi penerus yang sudah ada,” katanya berulang kali. Permintaan itu disertai syarat menyeramkan: menyerahkan anak pertama Mas Iyep yang lahir di malam Jumat Kliwon sebagai tumbal.
Dalam keputusasaan, Mas Iyep mendapati pintu kamar terlarang terbuka. Dari dalam, berjatuhan tumpukan uang merah, gepokan demi gepokan, seolah kamar itu penuh dengan harta. Ia sempat mengambil, merasakan nyata di tangannya, namun uang itu tiba-tiba sirna. Yang tersisa hanyalah Ibu Ratu duduk di kursi depan, menatapnya dengan senyum tipis. Malam itu ia sadar, rumah yang ia sewa bukan sekadar kontrakan, melainkan bekas tempat ritual pesugihan.
Mas Iyep menolak permintaan itu. Ia melawan dengan doa-doa yang diajarkan ayahnya, bahkan sempat menantang, “Kalau Ibu mau anak saya, langkahin saya dulu!” Sosok tinggi besar bertaring sempat muncul hendak mencekik, tapi doa yang ia lantunkan membuat makhluk itu perlahan sirna. Pagi harinya, istrinya bercerita seolah ia melihat semua kejadian itu meski terkunci di kamar.
Merasa tak aman, Mas Iyep mencari tahu ke Pak RT dan akhirnya bertemu dengan pemilik rumah, Bu Sri. Dari sana terbongkar rahasia kelam: tiga penghuni sebelumnya meninggal tragis, termasuk seorang ibu yang wafat bersama bayinya saat melahirkan. Rumah itu memang sejak lama digunakan untuk ritual pesugihan, dan kamar terlarang adalah pusatnya. Bersama seorang ustaz, Mas Iyep dan Bu Sri kemudian menggelar doa bersama dan membersihkan ruangan itu. Sesajen, dupa, boneka jerami, dan pusaka dikuburkan di belakang masjid. Kamar itu pun diubah menjadi musala kecil.
Sejak itu, gangguan perlahan hilang. Mas Iyep dan keluarganya tinggal di sana selama setahun lebih sebelum akhirnya kembali ke rumah ibunya karena merasa lebih tenang dekat orang tua. Namun pengalaman itu membekas dalam hidupnya. “Murah itu ada harganya,” katanya. “Kalau sesuatu tidak masuk logika, jangan diambil. Rumah besar, sehat, listrik lancar, cuma 300 ribu per bulan? Itu sudah tanda.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.