Tahun 2010, Teh Evan menerima undangan reuni akbar dari guru pembinanya. Acara ini akan digelar di sebuah bumi perkemahan di kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan. Lokasi ini dikenal indah sekaligus memiliki hawa mistis, dikelilingi pepohonan pinus tinggi menjulang dan kabut yang kerap turun mendadak di sore hari. Sekitar delapan puluh hingga sembilan puluh orang hadir, terdiri dari alumni lintas angkatan, guru-guru senior, dan para panitia.
Teh Evan datang bersama “The Geng”, sekelompok teman dekatnya yang sejak masa sekolah terkenal paling ramai. Di perjalanan menuju lokasi, mereka tertawa lepas, bernostalgia tentang masa-masa di kelas, dan membicarakan rencana dua hari satu malam yang dipenuhi permainan, kegiatan outdoor, dan acara api unggun di malam hari. Namun, di balik suasana penuh tawa itu, Teh Evan mengaku sejak awal perjalanan ia merasa ada yang “mengawasi” dari balik pepohonan.
Sore hari, saat peserta turun ke musala untuk bersih-bersih dan persiapan shalat, Teh Evan melontarkan ucapan kecil yang ternyata membawa akibat tak terduga. Ia berkata sambil bercanda bahwa ia tidak ingin bertemu ulat bulu di hutan. Tak lama setelah kembali ke tenda, justru puluhan ulat bulu hitam merayap di sekitar mereka. Bahkan dua ekor menempel di kepalanya. Teh Evan panik, menjerit, dan meminta teman-temannya membersihkan rambutnya. Rasa kaget itu belum hilang ketika menjelang magrib, dari jarak beberapa meter, ia melihat sosok menyerupai karung putih berada di bawah pohon pinus dekat sebuah batu besar. Bentuknya seperti pocong yang jongkok. Saat ia menoleh lagi, sosok itu sudah menghilang. Warga sekitar yang dimintai keterangan hanya memberi pesan singkat: “Jangan saling mengganggu, apalagi sudah masuk waktu magrib.”
Malam hari, acara api unggun dimulai. Musik terdengar, nyala api membesar di tengah lingkaran peserta, dan suasana hangat menyelimuti mereka. Namun, tanpa diduga, seorang peserta laki-laki bernama Farhan tiba-tiba jatuh ke tanah dengan tubuh bergetar hebat. Suaranya berubah-ubah kadang seperti anak kecil, lalu berat seperti suara genderuwo, melengking seperti kuntilanak, bahkan serak seperti nenek-nenek. Dalam bahasa Sunda, ia mengancam bahwa para peserta telah menginjak rumah para penunggu hutan dan harus membersihkannya.
Teh Evan yang berdiri cukup dekat memperhatikan dengan tegang. Tubuhnya mulai terasa berat, pandangan berkunang-kunang, lalu gelap. Saat tersadar, ia tidak lagi berada di tengah kerumunan peserta, melainkan di tempat yang sama namun dalam versi berbeda hutan itu sunyi total, berkabut tebal, dan udara lembap menusuk tulang. Dari belakang terdengar langkah berat, diikuti suara napas besar. Ketika ia menoleh, makhluk raksasa hitam dengan tubuh kekar, mata merah menyala, dan taring panjang berdiri hanya beberapa meter darinya. Dengan suara berat, makhluk itu berkata, “Bakal ada teman kamu yang akan saya bawa.”
Teh Evan ingin berlari, namun kakinya seperti tertanam di tanah. Tiba-tiba, dari arah lain, muncul sosok perempuan paruh baya memakai kemben, rambut terurai, dan wajah tegas. Ia menatap Teh Evan tanpa berkata apa-apa, lalu menggandeng tangannya. Teh Evan dibawa melewati deretan sosok-sosok menyeramkan dari pocong yang berjejer, kuntilanak yang menunduk sambil tersenyum, hingga siluman berbentuk hewan buas. Perjalanan itu seperti tak berujung, hingga akhirnya Teh Evan merasa tubuhnya kembali ringan. Ia membuka mata, mendapati dirinya terbaring di tenda, dikelilingi teman-temannya yang panik. Menurut mereka, Teh Evan pingsan selama dua jam.
Keesokan paginya, guru pembina memanggil kuncen setempat. Dalam ritual yang dilakukan, terungkap bahwa penyebab kemarahan para penunggu adalah ulah peserta sendiri. Beberapa diketahui minum minuman keras di atas batu besar yang dianggap keramat. Lebih parah lagi, ada pasangan yang berbuat mesum di toilet dekat musala. Kuncen segera melakukan pembersihan dengan sesajen, bunga tujuh rupa, dan ayam bekakak. Farhan, yang sejak malam sebelumnya tak sadarkan diri, baru siuman menjelang subuh. Meski situasi mulai tenang, acara reuni diputuskan selesai lebih awal, dan seluruh peserta pulang pagi itu juga.
Namun, gangguan rupanya belum berakhir. Tiga bulan setelah kejadian, Farhan jatuh sakit. Tubuhnya semakin melemah, dan meski sudah berobat ke dokter maupun pengobatan alternatif, kondisinya terus menurun. Hingga akhirnya, Farhan meninggal dunia. Saat mendengar kabar itu, Teh Evan langsung teringat ucapan makhluk raksasa di dimensi lain pada malam kesurupan. Ia yakin Farhan adalah orang yang dimaksud “akan dibawa”.
Setelah bercerita kepada orang tuanya, Teh Evan mengetahui rahasia masa lalunya. Saat SMA, ia pernah menjalani ritual kejawen selama tujuh hari atas saran neneknya. Ritual tersebut melibatkan puasa mutih, mandi bunga tujuh rupa tengah malam, wirid, dan pembacaan mantra Jawa. Tujuannya dikatakan untuk “penjagaan diri” sekaligus pengasihan. Namun, seorang kiai yang ditemuinya menjelaskan bahwa meskipun niatnya baik, ritual itu telah membuka dimensi lain yang membuat bangsa jin memperhatikannya. Salah satu jin laki-laki bahkan mengaku mencintainya, dan hal itu dipercaya sebagai penyebab mengapa hubungannya selalu gagal menuju pernikahan.
Teh Evan kemudian menjalani pembersihan batin yang cukup berat. Ia dimandikan di tujuh sumur berbeda, disertai pembacaan doa-doa untuk memutus ikatan gaib. Sejak saat itu, gangguan yang sering ia alami berhenti sepenuhnya. Namun, pengalaman di Gunung Ciremai tetap membekas. Ia sadar bahwa alam terbuka memiliki penghuni yang tak kasat mata dan harus dihormati. Perilaku tidak sopan, apalagi mabuk atau berbuat asusila di tempat angker, bisa mengundang marabahaya. Dan ritual mistis, meski tujuannya baik, tetap berpotensi membawa konsekuensi yang tak terduga.
Bagi Teh Evan, semua itu menjadi pelajaran berharga. Setiap ucapan dan perilaku harus dijaga, karena di tempat-tempat seperti itu, kita tak pernah tahu siapa saja yang sedang memperhatikan.
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.