Indramayu, 2005. Malam Minggu yang semula hanya rencana sederhana menemani teman mengapel berubah menjadi malam penuh ketegangan. Mas Chaniago, seorang penjahit sekaligus pencipta lagu, tidak pernah menyangka bahwa langkah kakinya akan membawanya menyaksikan salah satu praktik pesugihan paling menyeramkan di tanah kelahirannya pocong keliling desa untuk mencari uang gaib.
Awalnya, ia hanya berniat menepati janji pada dua sahabat lamanya, Deko dan Heri, yang kerap diganggu pemuda kampung setiap kali bertandang ke rumah Sri, gadis pujaan Deko. Demi menjaga teman, Mas Chaniago ikut. Namun tepat pukul sepuluh malam, di tengah hujan gerimis, firasat buruk menyergap. Angin berhembus aneh, daun-daun bergetar, dan tiba-tiba ia melihat sosok berpakaian putih mendekat.
Wajahnya menyeramkan mata melotot putih, gigi gemeretak, tubuhnya terbalut kain putih menyerupai mukena, namun kakinya berkaos kaki hitam sehingga seolah-olah ia melayang. Bukan pocong dalam arti jenazah, melainkan manusia hidup yang sedang melakukan ritual gaib. Dengan keberanian bercampur rasa takut, Mas Chaniago mendekat dan menyentuh tubuh sosok itu. Seketika tubuhnya seperti kesetrum listrik. Dari bisikan leluhur yang masih ia ingat, ia melafalkan mantra dan menyebut nama Bapak Darkam. Sosok itu terhuyung, wajahnya kaget, tapi tak bisa mengelak.
Beberapa minggu berikutnya, kejadian serupa terulang. Kali ini bukan hanya Darkam, tetapi juga istrinya, Dewina, yang tampil dalam wujud pocong jadi-jadian. Mereka bukan orang asing tetangga sekaligus pedagang keliling yang dikenal kaya raya. Saat diselidiki, Mas Chaniago dan teman-temannya menyaksikan langsung bagaimana ritual itu dilakukan. Dewina berdiri tanpa sehelai benang, menghadap ke arah laut, membaca mantra, lalu mengenakan pakaian putih yang secara gaib bergerak sendiri menutupi tubuhnya. Setelah itu, dengan langkah seperti terbang, ia menuju rumah warga.
Di dalam rumah-rumah terkunci, Dewina mampu menarik uang dari dalam lemari hanya dengan menunjuk jarinya. Lembar demi lembar uang berwarna kemerahan keluar menembus celah, ditangkap lalu dimasukkan ke plastik. Aksi itu dilakukan rutin, membuat satu desa ketakutan. “Semua orang tahu, tapi tak berani bicara. Mereka takut,” kenang Mas Chaniago.
Puncaknya, kabar penangkapan pocong ini sampai ke aparat desa. Suatu pagi, Mas Chaniago didatangi perangkat desa dan polisi. Ia dituduh mencemarkan nama baik Darkam dan Dewina. Di balai desa, ia dihadapkan langsung dengan pasangan tersebut. Polisi membentaknya, menuduhnya fitnah. Beruntung, tiga saksi Deko, Heri, dan Sri dihadirkan. Mereka bersaksi bahwa memang benar mereka melihat pocong jadi-jadian itu bersama Mas Chaniago. Dengan kesaksian itu, Mas Chaniago dilepaskan.
Namun dampaknya pada keluarga Darkam dan Dewina nyata. Hanya dalam waktu lima tahun, usaha mereka jatuh. Sawah, motor, hingga barang berharga satu per satu dijual. Darkam jatuh sakit, tubuhnya kaku dengan mata melotot seperti saat tertangkap dalam wujud pocong. Ia meninggal setelah tiga bulan sakit parah. Menyusul kemudian Dewina yang mengalami sakit serupa, hingga ajal menjemput. Hartanya habis, dua dari tiga anaknya meninggal muda, hanya menyisakan satu anak yang masih hidup.
Warga desa yakin, semua itu akibat pesugihan. Kekayaan instan yang mereka nikmati hanyalah ilusi sesaat, karena setiap lembar uang gaib selalu menuntut tumbal.
Kini, kisah pocong pesugihan Indramayu masih jadi buah bibir. Sebagian orang menyamakan dengan babi ngepet makhluk jadi-jadian pencuri uang. Bedanya, di sini yang berkeliaran bukan babi, melainkan sosok mirip pocong yang hanya bisa dilihat orang tertentu. “Kalau saya tidak menyaksikan sendiri, mungkin saya juga tidak percaya,” kata Mas Chaniago. “Tapi setelah semua terjadi, saya hanya bisa bilang jangan pernah cari rezeki lewat jalan seperti itu. Cepat atau lambat, semua ada bayarannya.”
Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam
Kisah nyata lain menanti… karena setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang.